Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Beras Oplosan

Krisis Beras Oplosan: Berkah Tersembunyi untuk Ekonomi Kerakyatan

Skandal beras oplosan yang mengguncang Indonesia akhir-akhir ini bukan sekadar kisah tentang kecurangan bisnis.

Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
BERAS OPLOSAN - Petugas menunjukkan barang bukti beras oplosan saat konferensi pers hasil penyidikan perkara dugaan beras oplosan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Dittipideksus Bareskrim Polri melalui Satgas Pangan Polri menetapkan Direktur Utama Food Station Karyawan Gunarso, Direktur Operasional Food Station Ronny Lisapaly dan Kepala Seksi Quality Control Food Station sebagai tersangka kasus dugaan beras oplosan atau beras yang tidak memenuhi standar mutu dan kualitas. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Krisis Beras Oplosan: Berkah Tersembunyi untuk Ekonomi Kerakyatan

Oleh : Johan Rosihan *)

SKANDAL beras oplosan yang mengguncang Indonesia akhir-akhir ini bukan sekadar kisah tentang kecurangan bisnis. Di balik hiruk-pikuk penegakan hukum dan protes industri, tersimpan momentum emas untuk melakukan redistribusi kekuatan ekonomi yang selama puluhan tahun dikuasai segelintir konglomerat besar.

Ketika para pengusaha penggilingan padi besar mengancam menghentikan operasional sementara, saya melihat ini justru sebagai berkah tersembunyi.

Inilah saatnya Indonesia memilih: melanjutkan oligopoli yang memarjinalkan rakyat kecil, atau merebut kembali kedaulatan pangan melalui pemberdayaan 161.000 lebih penggilingan padi rakyat yang selama ini tertindas.

Oligopoli yang Merampas Hak Rakyat

Selama ini, struktur industri penggilingan padi Indonesia mengidap penyakit kronis: ketimpangan ekstrem. Bayangkan, 161.401 penggilingan kecil yang merupakan 95,1 persen dari total unit, hanya menguasai 40-45 persen kapasitas pemrosesan.

Sementara segelintir penggilingan besar—tak lebih dari 5%—menguasai mayoritas akses pasar premium dan distribusi. Paradoks ini mencerminkan distorsi ekonomi yang telah berlangsung puluhan tahun.

Ketimpangan ini bukan kebetulan. Ia adalah produk sistemik dari kebijakan yang bias terhadap modal besar. Persyaratan modal disetor minimum Rp 2,5 miliar untuk perizinan usaha pertanian secara efektif menghalangi rakyat kecil.

Sistem Harga Eceran Tertinggi (HET) menciptakan kompresi margin yang mematikan penggilingan kecil. Akses ke Bulog dan jalur distribusi modern? Hanya untuk yang bermodal tebal.

Lebih parah lagi, sistem sertifikasi kualitas yang rumit dan mahal menjadi benteng tak tertembus bagi penggilingan rakyat.

Sementara konglomerat besar dengan mudah memenuhi persyaratan SNI dan HACCP berkat modal berlimpah, penggilingan kecil terpaksa beroperasi di pasar informal dengan margin tipis. Ironinya, justru penggilingan besar inilah yang terbukti melakukan praktik curang dalam skandal beras oplosan.

Dampak sosial-ekonominya sangat nyata. Di Jawa Barat, dari 23 penggilingan di Karawang, 10 unit milik rakyat kecil terpaksa tutup karena tak sanggup bersaing dengan predatory pricing konglomerat.

Ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian, sementara petani kehilangan tempat menggiling terdekat. Konsentrasi industri ini juga menciptakan bottleneck pada musim panen, merugikan petani yang terpaksa antre atau menjual gabah dengan harga murah.

Baca juga: Kasus Beras Oplosan Terungkap, Konsumen Pilih Pasar Tradisional dan Penggilingan

Akibatnya, ratusan ribu penggilingan rakyat hanya menjadi "makloon"—tukang giling upahan yang margin keuntungannya tipis.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved