Tribunners / Citizen Journalism
Beras Oplosan
Krisis Beras Oplosan: Berkah Tersembunyi untuk Ekonomi Kerakyatan
Skandal beras oplosan yang mengguncang Indonesia akhir-akhir ini bukan sekadar kisah tentang kecurangan bisnis.
Mereka tak pernah punya akses ke pasar premium, apalagi ekspor. Sementara konglomerat besar mengeruk keuntungan berlipat dari mengemas beras reject sebagai premium. Inilah wajah oligopoli yang telah merampas hak ekonomi rakyat selama bertahun-tahun.
Momentum Redistribusi yang Tak Boleh Tersia-sia
Ancaman mogok massal dari penggilingan besar justru membuka jalan lebar untuk redistribusi. Data menunjukkan, jika operasi dialihkan ke penggilingan kecil, akan tercipta 180.000-220.000 lapangan kerja langsung dan 360.000-440.000 pekerjaan tidak langsung. Bayangkan dampak sosial-ekonominya.
Setiap penggilingan kecil rata-rata mempekerjakan 8-12 orang dibanding penggilingan besar yang hanya butuh 2-3 operator untuk kapasitas yang sama.
Baca juga: Mentan Sebut Pasca Kasus Beras Oplosan Terjadi Pergeseran Struktur Pasar
Penggilingan kecil menghasilkan multiplier effect ekonomi lokal 2,5-3 kali lebih besar dibanding operasi raksasa. Setiap rupiah keuntungan akan berputar di komunitas lokal—membeli gabah petani sekitar, membayar buruh lokal, menggunakan jasa transportasi desa.
Inilah ekonomi kerakyatan sejati. Berbeda dengan konglomerat yang keuntungannya mengalir ke kantong segelintir pemegang saham di Jakarta atau bahkan luar negeri.
Distribusi geografis penggilingan kecil juga jauh lebih merata, menjangkau hingga pelosok desa yang tak terjamah infrastruktur besar. Di Sulawesi Selatan, misalnya, ribuan penggilingan kecil melayani petani di daerah terpencil dengan biaya transportasi minimal.
Jika operasi ini terkonsentrasi di penggilingan besar, biaya logistik akan membengkak dan petani semakin terpinggirkan.
Momentum ini juga didukung sentimen publik yang sedang tinggi terhadap praktik curang korporasi besar. Skandal beras oplosan telah membuka mata rakyat bahwa selama ini mereka ditipu oleh brand-brand premium yang sebenarnya berisi beras berkualitas rendah.
Kepercayaan publik terhadap konglomerat pangan sedang berada di titik nadir, sementara empati terhadap pelaku usaha kecil justru menguat.
Vietnam membuktikan hal ini. Dengan menghubungkan 1,5 juta petani kecil ke jaringan pemrosesan melalui koperasi, mereka mencapai swasembada beras sambil menjaga pemerataan ekonomi. Thailand mengembangkan sistem "rice doctor" yang memberdayakan penggilingan kecil melalui teknologi sederhana tapi efektif.
Keberhasilan negara tetangga ini menunjukkan bahwa redistribusi kekuatan ekonomi di sektor pangan bukan hanya mungkin, tapi juga menguntungkan secara makro.
Tantangan yang Bisa Diatasi
Kritikus akan berargumen soal efisiensi. Benar, penggilingan kecil menghasilkan recovery rate 60% versus 65% penggilingan besar. Tapi apakah perbedaan 5% ini sebanding dengan penciptaan ratusan ribu lapangan kerja dan pemerataan ekonomi?
Terlebih jika kita hitung biaya sosial dari pengangguran massal dan konsentrasi kekayaan, efisiensi makro justru lebih baik dengan model terdistribusi.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Beras Oplosan
Mentan Amran: 1,3 Juta Ton Beras akan Diguyur ke Pasar untuk Tekan Harga |
---|
Marak Beras Oplosan, Pemerintah Minta Penggilingan Padi Tidak Takut Lanjutkan Usaha |
---|
Isu Beras Oplosan Bikin Pedagang Menjerit, Omzet Anjlok Hingga Harga yang Terus Melambung |
---|
Pedagang Beras di 3 Kabupaten Jateng Tak Terdampak Beras Premium Oplosan |
---|
Marak Beras Bermerek Hasil Oplosan Bikin Warga Cilacap Menyerbu Pedagang Eceran |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.