Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Beras Oplosan

Krisis Beras Oplosan: Berkah Tersembunyi untuk Ekonomi Kerakyatan

Skandal beras oplosan yang mengguncang Indonesia akhir-akhir ini bukan sekadar kisah tentang kecurangan bisnis.

Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
BERAS OPLOSAN - Petugas menunjukkan barang bukti beras oplosan saat konferensi pers hasil penyidikan perkara dugaan beras oplosan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Dittipideksus Bareskrim Polri melalui Satgas Pangan Polri menetapkan Direktur Utama Food Station Karyawan Gunarso, Direktur Operasional Food Station Ronny Lisapaly dan Kepala Seksi Quality Control Food Station sebagai tersangka kasus dugaan beras oplosan atau beras yang tidak memenuhi standar mutu dan kualitas. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Lagipula, gap teknologi ini bukan takdir. Dengan investasi terfokus sekitar $1-1,5 miliar—setara dengan anggaran subsidi pupuk selama 3-4 bulan—kita bisa memodernisasi penggilingan rakyat.

Program kredit lunak, bantuan peralatan, dan pendampingan teknis dapat mengangkat kualitas operasi mereka. China berhasil melakukan hal serupa pada era reformasi ekonomi dengan hasil yang spektakuler.

Contoh nyata sudah ada di depan mata. Program EU-SWITCH Asia di Jawa Timur dan Tengah berhasil mentransformasi 150 penggilingan kecil dari sistem diesel ke listrik, meningkatkan efisiensi sambil mengurangi emisi.

Hasilnya? Peningkatan produktivitas 15-20?n penghematan biaya operasional signifikan. Bayangkan jika program serupa diperluas ke 161.000 penggilingan kecil di seluruh Indonesia.

Tantangan akses permodalan juga bisa disiasati melalui skema koperasi dan microfinance. Di Yogyakarta, 339 lembaga keuangan mikro pertanian sudah melayani puluhan ribu petani dan penggilingan kecil dengan tingkat efisiensi 50,77%.

Model ini bisa direplikasi dan diperluas dengan dukungan regulasi yang tepat. Koperasi equipment sharing seperti di Filipina juga terbukti efektif mengurangi beban investasi individual.

Filipina berhasil mengembangkan koperasi penggilingan bertenaga surya. Laos mentransformasi penggilingan keluarga menjadi eksportir bersertifikat internasional.

Jika mereka bisa, mengapa Indonesia tidak? Yang dibutuhkan hanyalah political will dan komitmen jangka panjang untuk memberdayakan ekonomi rakyat, bukan melulu mengejar efisiensi jangka pendek yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan segelintir konglomerat.

Saatnya Pilih Arah: Oligopoli atau Kerakyatan

Pemerintah Prabowo-Gibran memiliki pilihan historis. Mereka bisa membiarkan konsolidasi berlanjut—menyelamatkan konglomerat besar sambil membiarkan ratusan ribu penggilingan rakyat mati perlahan.

Atau mengambil langkah berani: memanfaatkan krisis ini untuk melakukan redistribusi ekonomi terbesar dalam sektor pangan. Pilihan ini akan menentukan wajah perekonomian Indonesia untuk dekade mendatang.

Momentum politik saat ini sangat mendukung. Presiden Prabowo berkali-kali menyuarakan komitmen terhadap ekonomi kerakyatan dan hilirisasi yang merata. Ini adalah kesempatan emas untuk menterjemahkan visi tersebut dalam aksi konkret.

Jika berhasil, ini akan menjadi legacy transformatif yang membedakan pemerintahan ini dengan yang sebelumnya.

Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melawan status quo. Tekanan dari lobby konglomerat pasti akan menguat, dengan dalih efisiensi dan stabilitas pasokan.

Namun pemerintah perlu ingat, stabilitas yang dibangun di atas ketimpangan adalah stabilitas semu yang akan roboh pada saatnya. Krisis beras oplosan adalah alarm keras bahwa sistem yang ada sudah tidak sustainable.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved