UU Pemilu
Eks Hakim MK Sebut Putusan soal Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Serentak Langgar Konstitusi & UUD 1945
Eks hakim MK menilai putusan MK yang menyatakan pemilu dan pilkada tidak lagi digelar secara serentak telah melanggar konstitusi dan UUD 1945.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Suci BangunDS
Selain berpengaruh terhadap penyelenggaraannya, pemilu serentak juga berdampak terhadap partai politik (parpol) dalam mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi.
Pasalnya, parpol seakan dipaksa untuk mempersiapkannya secara instan ribuan kadernya untuk berkompetisi di dalam pemilu serentak, yaitu dari Pileg, Pilkada, hingga Pilpres. "Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik," kata Arief.
Hakim juga menganggap pemilu serentak membuat parpol tidak berdaya sehingga lebih mengedepankan politik praktis seperti memilih calon yang akan berkontestasi hanya berdasarkan popularitasnya saja serta berdasarkan keinginan pemilik modal. Sehingga, membuat perekrutan calon-calon yang akan mengisi jabatan publik lewat pemilu hanya bersifat transaksional saja.
Tak cuma berdampak ke parpol dan penyelenggaranya, pemilu serentak menurut hakim MK juga berpengaruh terhadap masyarakat atau pemilih.
Hakim menganggap pemilu serentak justru membuat pemilih jenuh karena banyaknya calon yang harus dipilih yaitu dari level DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD, hingga Presiden dan Wakil Presiden.
"Bahkan, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan diantara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota yang menggunakan model lima kotak," kata hakim Saldi Isra.
Hakim menilai dengan proses semacam itu mempengaruhi kedaulatan pemilih. Selain itu, digelarnya pemilu serentak juga berdampak kepada kondisi para anggota penyelenggara yang bisa sakit hingga berujung meninggal dunia dengan berkaca pada Pemilu 2019 lalu.
"Tidak hanya itu, misalnya seusai pemungutan suara di TPS pada Pemilihan Umum 2019, karena soal teknis penghitungan suara yang rumit dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara, banyak penyelenggara pemilihan umum menjadi korban, baik yang sakit maupun meninggal dunia," kata Saldi Isra.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.