UU Pemilu
Eks Hakim MK Sebut Putusan soal Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Serentak Langgar Konstitusi & UUD 1945
Eks hakim MK menilai putusan MK yang menyatakan pemilu dan pilkada tidak lagi digelar secara serentak telah melanggar konstitusi dan UUD 1945.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar, menilai putusan MK yang menyatakan pemilu dan pilkada mulai tahun 2029 tidak lagi digelar secara serentak telah melanggar UUD 1945 dan konstitusi.
Awalnya, dia mengatakan terkait penyelenggaraan pemilu dan pilkada mengacu pada beberapa pasal di UUD 1945 yaitu Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 22 E.
"Tentang pemilu kita mengacu pada Pasal 22 E ayat (1) (yang berbunyi) pemilu dilaksanakan secara langsung, jujur, dan adil, setiap lima tahun sekali. Kedua, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD."
"Demikian juga Pasal 18 ayat (3), meskipun ini dalam lingkup daerah, tapi disini ada juga berbicara soal pemilu yaitu pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum," kata Patrialis dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025), dikutip dari YouTube TV Parlemen.
Patrialis mengungkapkan, mengacu pada dua pasal di atas, maka pemilu seharusnya digelar sekali dalam lima tahun alih-alih dua kali seperti pada putusan MK.
Selanjutnya, pihak yang dipilih dalam pemilu adalah anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakil presiden, serta anggota DPRD.
Adapun pemilihan tersebut, kata Patrialis, dilakukan secara serentak dan tidak digelar secara terpisah layaknya putusan MK.
"Karena pasal itu dalam satu tarikan nafas," jelasnya.
Kemudian, Patrialis menjelaskan soal ketentuan terkait pilkada yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (4) UUD 1945.
Baca juga: DPR Harus Libatkan Seluruh Pemangku Kepentingan Bahas Revisi UU Pemilu Buntut Putusan MK
Mengacu dari pasal tersebut, dia mengungkapkan pilkada tidak termasuk dalam pemilu.
Namun, berdasarkan putusan MK, justru pilkada menjadi salah satu rangkaian dalam penyelenggaraan pemilu.
Patrialis mengatakan, ada dua cara untuk menggelar pilkada yaitu dipilih secara langsung oleh masyarakat atau DPRD.
"Tapi tidak pernah konstitusi memberikan rambu-rambu bahwa ini (pilkada) dipilih secara umum. Ini bukan perkara setuju atau tidak setuju, tetapi terkait konstitusi," jelasnya.
Dia lalu mengatakan, putusan MK ini telah melanggar Pasal 24C UUD 1945 karena tidak sesuai dengan kewenangannya.
Dalam pasal tersebut, MK berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Patrialis mengungkapkan, jika merujuk pada putusan, MK dianggapnya telah mengganti konstitusi dan UUD 1945, meski hal tersebut bukan wewenangnya.
"MK tidak diberikan kewenangan mengubah konstitusi. Yang berhak mengubah konstitusi hanya MPR saja."
"Jika (MK) ingin mengubah substansi konstitusi, maka sama saja MK melanggar konstitusi," ujarnya.
Patrialis juga menganggap putusan MK yang didasari faktor teknis seperti beban kerja penyelenggara yang berat ketika pemilu dan pilkada digelar secara serentak, bukanlah ranahnya.
Menurutnya, hal tersebut seharusnya diatur oleh pihak-pihak terkait seperti DPR, pemerintah, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Tapi kalau menjadikan pesan-pesan, boleh saja, tetapi tidak menjadi landasan diputusnya perkara ini dari masalah-masalah teknis."
Dari penjabarannya tersebut, Patrialis pun menyimpulkan bahwa putusan MK telah melanggar konstitusi dan UUD 1945.
Alasan MK Gelar Pemilu Mulai 2029 Tak Lagi Serentak

Diketahui, MK memutuskan Pemilu 2029 tidak serentak. Dalam putusan yang dibacakan dalam sidang pada Kamis (26/6/2025) lalu tersebut, hakim konstitusi mengumumkan pelaksanaan antara Pemilu dan Pilkada harus ada selisih waktu maksimal dua tahun atau 2,5 tahun.
Sehingga, MK menyatakan norma dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai:
"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."
Hakim juga membeberkan alasan sehingga memutuskan Pemilu mulai tahun 2029 tidak lagi digelar serentak. Pertama, beban kerja penyelenggara pemilu yang dirasa semakin berat ketika pemilu digelar serentak sehingga turut mempengaruhi kualitas penyelenggaraannya.
Hal ini berkaca dari penyelenggaraan Pemilu 2024 sebelumnya yang digelar secara serentak.
"Pertembungan tahun penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, berakibat terjadinya impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPR, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan sejumlah tahapan awal dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil wali kota," ujar Hakim Konstitusi, Arief Hidayat.
Baca juga: Mendagri Tito Kaji Putusan MK Pisahkan Pemilu: Apakah Sesuai dengan Konstitusi
Dengan adanya fakta berhimpitan tersebut, lanjut Arief, maka sejumlah tahapan pemilihan umum tersebut tidak bisa dicegah atau dihindari terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu yang dalam batas penalaran yang wajar berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum.
Selain berpengaruh terhadap penyelenggaraannya, pemilu serentak juga berdampak terhadap partai politik (parpol) dalam mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi.
Pasalnya, parpol seakan dipaksa untuk mempersiapkannya secara instan ribuan kadernya untuk berkompetisi di dalam pemilu serentak, yaitu dari Pileg, Pilkada, hingga Pilpres. "Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik," kata Arief.
Hakim juga menganggap pemilu serentak membuat parpol tidak berdaya sehingga lebih mengedepankan politik praktis seperti memilih calon yang akan berkontestasi hanya berdasarkan popularitasnya saja serta berdasarkan keinginan pemilik modal. Sehingga, membuat perekrutan calon-calon yang akan mengisi jabatan publik lewat pemilu hanya bersifat transaksional saja.
Tak cuma berdampak ke parpol dan penyelenggaranya, pemilu serentak menurut hakim MK juga berpengaruh terhadap masyarakat atau pemilih.
Hakim menganggap pemilu serentak justru membuat pemilih jenuh karena banyaknya calon yang harus dipilih yaitu dari level DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD, hingga Presiden dan Wakil Presiden.
"Bahkan, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan diantara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota yang menggunakan model lima kotak," kata hakim Saldi Isra.
Hakim menilai dengan proses semacam itu mempengaruhi kedaulatan pemilih. Selain itu, digelarnya pemilu serentak juga berdampak kepada kondisi para anggota penyelenggara yang bisa sakit hingga berujung meninggal dunia dengan berkaca pada Pemilu 2019 lalu.
"Tidak hanya itu, misalnya seusai pemungutan suara di TPS pada Pemilihan Umum 2019, karena soal teknis penghitungan suara yang rumit dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara, banyak penyelenggara pemilihan umum menjadi korban, baik yang sakit maupun meninggal dunia," kata Saldi Isra.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.