UU Pemilu
Eks Hakim MK Sebut Putusan soal Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Serentak Langgar Konstitusi & UUD 1945
Eks hakim MK menilai putusan MK yang menyatakan pemilu dan pilkada tidak lagi digelar secara serentak telah melanggar konstitusi dan UUD 1945.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Suci BangunDS
Patrialis mengungkapkan, jika merujuk pada putusan, MK dianggapnya telah mengganti konstitusi dan UUD 1945, meski hal tersebut bukan wewenangnya.
"MK tidak diberikan kewenangan mengubah konstitusi. Yang berhak mengubah konstitusi hanya MPR saja."
"Jika (MK) ingin mengubah substansi konstitusi, maka sama saja MK melanggar konstitusi," ujarnya.
Patrialis juga menganggap putusan MK yang didasari faktor teknis seperti beban kerja penyelenggara yang berat ketika pemilu dan pilkada digelar secara serentak, bukanlah ranahnya.
Menurutnya, hal tersebut seharusnya diatur oleh pihak-pihak terkait seperti DPR, pemerintah, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Tapi kalau menjadikan pesan-pesan, boleh saja, tetapi tidak menjadi landasan diputusnya perkara ini dari masalah-masalah teknis."
Dari penjabarannya tersebut, Patrialis pun menyimpulkan bahwa putusan MK telah melanggar konstitusi dan UUD 1945.
Alasan MK Gelar Pemilu Mulai 2029 Tak Lagi Serentak

Diketahui, MK memutuskan Pemilu 2029 tidak serentak. Dalam putusan yang dibacakan dalam sidang pada Kamis (26/6/2025) lalu tersebut, hakim konstitusi mengumumkan pelaksanaan antara Pemilu dan Pilkada harus ada selisih waktu maksimal dua tahun atau 2,5 tahun.
Sehingga, MK menyatakan norma dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai:
"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."
Hakim juga membeberkan alasan sehingga memutuskan Pemilu mulai tahun 2029 tidak lagi digelar serentak. Pertama, beban kerja penyelenggara pemilu yang dirasa semakin berat ketika pemilu digelar serentak sehingga turut mempengaruhi kualitas penyelenggaraannya.
Hal ini berkaca dari penyelenggaraan Pemilu 2024 sebelumnya yang digelar secara serentak.
"Pertembungan tahun penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, berakibat terjadinya impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPR, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan sejumlah tahapan awal dalam penyelenggaraan pemilihan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan walikota atau wakil wali kota," ujar Hakim Konstitusi, Arief Hidayat.
Baca juga: Mendagri Tito Kaji Putusan MK Pisahkan Pemilu: Apakah Sesuai dengan Konstitusi
Dengan adanya fakta berhimpitan tersebut, lanjut Arief, maka sejumlah tahapan pemilihan umum tersebut tidak bisa dicegah atau dihindari terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu yang dalam batas penalaran yang wajar berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.