Selasa, 7 Oktober 2025

Pakar Hukum: Keputusan Indonesia Tak Meratifikasi FCTC Bentuk Nyata Perlindungan Kedaulatan Nasional

FCTC dipandang sebagai alat tekanan terhadap negara-negara produsen tembakau. Indonesia secara tegas menolak meratifikasi perjanjian tersebut.

Penulis: Sanusi
Editor: Erik S
dok pribadi
LINDUNGI KEPENTINGAN NASIONAL - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana, menilai keputusan Indonesia tidak meratifikasi FCTC sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Polemik seputar Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) kembali mencuat, memantik kekhawatiran akan potensi intervensi asing dalam kebijakan nasional. 

Perjanjian internasional yang digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ini dinilai menyusup secara halus ke dalam sistem hukum Indonesia, meski tidak diratifikasi secara resmi oleh Pemerintah Indonesia sejak terbentuknya pada tahun 2002.

FCTC dipandang sebagai alat tekanan terhadap negara-negara produsen tembakau. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan ekosistem pertembakauan yang kuat dan bersejarah, secara tegas menolak meratifikasi perjanjian tersebut.

Baca juga: AS Keluar dari WHO, Hikmahanto Juwana Soroti Potensi Ancaman FCTC Bagi Industri Tembakau Indonesia

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana, menilai keputusan Indonesia tidak meratifikasi FCTC sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional. 

“Lalu apa yang mereka akan lakukan? Ini tangan-tangan dari luar yang ingin mengganggu kedaulatan kita. Mereka mencoba melakukannya untuk meminta Indonesia tidak meratifikasi, tapi mengadopsi,” jelasnya, Rabu (28/5/2025).

Menurutnya, terdapat upaya sistematis untuk menyisipkan ketentuan-ketentuan FCTC ke dalam regulasi nasional, meskipun Indonesia secara resmi menolak perjanjian tersebut. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk penjajahan model baru, di mana intervensi dilakukan bukan melalui kekuatan militer, melainkan melalui instrumen hukum internasional.

“Sekarang dia tidak menggunakan asas konkordansi yang dibenarkan melalui alat kolonialisme, tetapi sekarang itu disebut sebagai penjajahan model baru menggunakan perjanjian internasional untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan suatu negara,” tambahnya.

Prof. Hikmahanto juga menyoroti bahwa tekanan untuk mengadopsi prinsip-prinsip FCTC muncul dalam berbagai bentuk, termasuk dalam penyusunan kebijakan domestik seperti rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) yang saat ini tengah diwacanakan dalam regulasi turunan PP 28/2024.

Sebagai pembanding, ia mengangkat sikap tegas Amerika Serikat dalam menghadapi perjanjian internasional. Meski aktif dalam perumusan berbagai konvensi global, Amerika Serikat dikenal selektif dan tidak segan menolak perjanjian yang dianggap bertentangan dengan kepentingan nasionalnya.

“Nah, jadi kita pun harus seperti Amerika Serikat yang tahu betul apa arti dari suatu kedaulatan. Kalau misalnya kepentingan nasional kita terganggu dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara internasional, kita akan mengatakan kita tidak akan ikut dalam perjanjian tersebut,” pungkasnya.

Baca juga: DPR Diminta Cegah Potensi Adaptasi Aturan FCTC pada Rancangan Permenkes

FCTC atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau merupakan perjanjian internasional kesehatan-masyarakat pertama sebagai hasil negosiasi 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO). 

FCTC bertujuan untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi tembakau dan paparan asap rokok terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi, melalui sebuah kerangka kerja untuk pengendalian tembakau

Diketahui, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi dan belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)

Menurut data WHO, sejak penandatangan FCTC pertama kali dilakukan oleh 168 negara dalam rentang waktu antara 2003-2004. Sampai dengan Juli 2013, tercatat 177 negara menyatakan sebagai negara pihak FCTC melalui mekanisme ratifikasi atau aksesi FCTC, ditambah 9 negara yang sudah menandatangani namun masih belum meratifikasi FCTC. 

Sementara itu, tinggal 8 negara anggota WHO yang tidak menandatangani dan belum mengaksesi FCTC, yaitu: Andorra, Liechtenstein, dan Monaco (Eropa); Zimbabwe, Malawi, Somalia, dan Eritrea (Afrika) serta Indonesia (Asia). Dari kedelapan negara tersebut Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu mencapai 242.325.638 jiwa.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved