Senin, 6 Oktober 2025

AS Keluar dari WHO, Hikmahanto Juwana Soroti Potensi Ancaman FCTC Bagi Industri Tembakau Indonesia

Mirisnya, perjanjian FCTC ini diinisiasi oleh negara-negara non-produsen tembakau yang disinyalir menunggangi isu kesehatan untuk mematikan industri

Penulis: Fahdi Fahlevi
Kompas/Amir Sodikin
Ilustrasi rokok kretek. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Keputusan mengejutkan Amerika Serikat (AS) keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menambah sorotan internasional terhadap kebijakan global yang digagas badan kesehatan dunia tersebut. 

Langkah ini memicu spekulasi dan ketidakpastian mengenai kebijakan-kebijakan yang pernah diinisiasi oleh WHO, seperti Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang juga mulai diadopsi Indonesia.

Dengan AS sebagai pemberi dana terbesar bagi WHO memilih mundur, berbagai negara mulai mempertanyakan relevansi dan kredibilitas kebijakan WHO. Salah satu dampak yang timbul adalah munculnya kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang kini tengah diproses dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Indonesia.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana mengungkapkan, keputusan AS ini bisa menjadi momen penting untuk menilai kembali relevansi FCTC, yang sejauh ini mengatur negara-negara produsen tembakau agar tunduk pada batasan-batasan ketat dalam penggunaan tembakau.

Mirisnya, perjanjian FCTC ini diinisiasi oleh negara-negara non-produsen tembakau yang disinyalir menunggangi isu kesehatan untuk mematikan industri strategis di negara seperti di Indonesia.

“Bila dicermati, intervensi saat ini dilakukan melalui perjanjian internasional yang apabila sudah ikut, maka negara tersebut memiliki kewajiban untuk mentransformasikan ikatan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional,” tutur Hikmahanto melalui keterangan tertulis, Kamis (27/3/2025).

Baca juga: Rupiah Sentuh Level Terendah Saat Krismon 1998, BI Ungkap Hal Ini, Pemerintah Yakin Hanya Sementara

Hikmahanto berpendapat bahwa FCTC seharusnya menjadi tidak relevan lagi setelah keluarnya AS dari WHO

Hal ini menunjukkan bahwa WHO tidak seharusnya menjadi otoritas tertinggi bagi negara-negara yang tergabung untuk menjalankan kebijakannya. 

Dalam hal ini, AS telah mengambil keputusan yang tepat untuk menjaga kedaulatan negaranya.

Terkait penerapan aturan di Indonesia yang mengadopsi FCTC, Hikmahanto menjelaskan bahwa pemerintah perlu berhati-hati. 

Indonesia adalah produsen tembakau dengan mata rantai yang besar, di mana industri tembakau menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan dan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain itu, demi menjaga kedaulatan negara seperti halnya AS, pemerintah harus secara tegas menegakkan kedaulatan dari ancaman intervensi asing, sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

"Pemerintah harus hati-hati dalam menerapkan FCTC di Indonesia, terutama karena negara ini tidak meratifikasi aturan global tersebut," katanya. 

"Pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi nasional sehingga kebijakan ini menjadi tidak tepat bila diterapkan. Di sinilah pemerintah harus memiliki kebebasan dan kedaulatan negara harus ditegakkan,” tambahnya. 

Baca juga: Kemenkes: Rokok dan Tembakau Jadi Tantangan di Bidang Gizi di Indonesia

Rancangan Permenkes pun bisa menjadi ancaman nyata untuk keberlangsungan sektor tembakau, salah satu sektor padat karya yang menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto. 

Dalam rapat terbatas bersama menteri-menteri Kabinet Merah Putih di Hambalang, Kabupaten Bogor, Presiden Prabowo meminta untuk menganalisa proyek-proyek yang menciptakan lapangan pekerjaan, seperti industri padat karya.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved