Senin, 29 September 2025

DPR Diminta Cegah Potensi Adaptasi Aturan FCTC pada Rancangan Permenkes

Sulami juga melihat bahwa poin-poin yang dimasukkan oleh Kementerian Kesehatan mengakomodir kepentingan asing.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
TEMBAKAU - Petani menyortir tembakau di Klaten, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, mendorong DPR terlibat dalam polemik penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan turunannya, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlibat dalam polemik penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan turunannya, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

Melalui surat yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI, dinyatakan bahwa surat perihal penolakan terbitnya PP 28/2024 tentang Kesehatan sudah diterima dengan baik.

Mengikuti arahan Ketua DPR RI, Puan Maharani, permasalahan tersebut akan dibahas dan ditindaklanjuti oleh Komisi IX.

Sulami berharap langkah terbaru ini segera ditangani oleh legislator yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan, dan jaminan sosial.

Pasalnya, hingga saat ini, belum ada lanjutan pembicaraan mengenai polemik tersebut.

"Kami akan tetap berjuang karena sangat keberatan dengan aturan tersebut. Pelaku industri hasil tembakau sedang tidak baik-baik saja dan mengalami penurunan yang signifikan," kata Sulami melalui keterangan tertulis, Kamis (13/2/2025).

Sulami juga melihat bahwa poin-poin yang dimasukkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes justru mengakomodir keinginan pihak asing.

Semestinya, katanya, Kemenkes seharusnya membuat regulasi berdasarkan kondisi di dalam negeri.

Adopsi aturan turunan dari kebijakan itu malah merujuk pada kebutuhan asing, seperti memuat pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Misalnya, soal rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Padahal, Indonesia secara resmi tidak meratifikasi FCTC.

"Kami tegaskan bahwa semua regulasi industri hasil tembakau yang dikeluarkan Kemenkes ini lebih menyerang daripada perjanjian yang ada di FCTC. Ini bukan pengendalian, tapi sudah mematikan," tuturnya.

Sulami turut menyoroti nasib pendapatan negara dan keberlangsungan industri tembakau beserta pihak-pihak lainnya yang menggantungkan diri pada sektor tersebut.

Faktanya, industri ini telah memberikan kontribusi besar bagi penyerapan kerja hingga penerimaan negara sekitar Rp200 triliun lebih tiap tahunnya.

Ia mengatakan bahwa PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes sangat minim transparansi, sehingga kebijakan yang dihasilkan justru mendapatkan banyak pertentangan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan