Beras Oplosan
Pengamat: Sanksi Tegas dan Reformasi Rantai Pasok Jadi Solusi Atasi Kasus Beras Oplosan
Praktik oplosan kerap dianggap hal lazim di sejumlah pasar induk sehingga mencerminkan adanya normalisasi pelanggaran
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Maraknya praktik pengoplosan beras kembali menyita perhatian publik.
Apalagi investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) menemukan, dari 248 merek beras yang diuji, sebanyak 212 merek tidak memenuhi standar mutu, takaran dan harga eceran tertinggi (HET).
Kondisi ini menggambarkan pelanggaran kualitas pangan telah terjadi secara sistemik dan dibiarkan terlalu lama.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menilai kondisi menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan regulasi mutu pangan, khususnya beras sebagai komoditas strategis nasional.
“Temuan ini mengindikasikan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Jika 85 persen beras premium tidak sesuai regulasi, itu berarti pasar kita sedang tidak baik-baik saja,” ujar Eliza.
Menurut Eliza, praktik oplosan kerap dianggap hal lazim di sejumlah pasar induk sehingga mencerminkan adanya normalisasi pelanggaran.
Baca juga: Forum Kepakaran Indonesia Nilai Kinerja Mentan Amran Terbaik dalam Sejarah Kementan
Kondisi ini mengkhawatirkan karena memperlihatkan minimnya perlindungan terhadap konsumen, yang membeli beras dengan harga premium tapi mendapat kualitas rendah bahkan tercampur dengan varietas yang berbeda atau beras lama.
“Konsumen dirugikan dua kali yakni membayar lebih mahal untuk kualitas rendah, dan kedua karena mereka tidak punya akses terhadap informasi yang jelas tentang beras yang mereka konsumsi,” jelas Eliza.
Eliza menekankan pentingnya sanksi tegas dan terukur sebagai solusi awal untuk membendung praktik curang tersebut.
Ia mencontohkan pencabutan izin usaha, denda progresif atau pelaporan publik terhadap merek-merek yang terbukti melanggar.
“Perlu efek jera. Jika pelanggaran dibiarkan, pasar akan terus beroperasi dalam ketidakadilan. Pelaku terus untung, konsumen terus dirugikan, dan petani tetap dihilirkan,” ujarnya.
Solusi jangka menengah hingga panjang yang disarankan adalah reformasi rantai pasok beras, yang selama ini didominasi segelintir pelaku usaha di tingkat distribusi dan ritel.
Pasar beras yang cenderung oligopolistik membuat keuntungan terbesar justru terserap di tingkat middleman, bukan petani.
“Petani hanya mendapat kurang dari 40 persen dari total nilai tambah produk. Padahal mereka yang bekerja paling berat di awal rantai,” kata Eliza.
Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah mulai serius mengembangkan model distribusi yang lebih pendek dan adil, seperti pasar digital berbasis koperasi petani, atau platform penjualan langsung dari produsen ke konsumen.
Lebih jauh, Eliza mengusulkan agar setiap produk beras, baik premium maupun medium, wajib memiliki sertifikasi mutu dan pelabelan transparan.
Baca juga: Beras Oplosan Ancam Kesehatan: Waspada Ciri Fisik dan Bahayanya Ini
Langkah ini diyakini akan meningkatkan traceability atau keterlacakan, sehingga konsumen mengetahui asal-usul dan metode produksi beras yang mereka konsumsi.
Beras Oplosan
Mentan Amran: 1,3 Juta Ton Beras akan Diguyur ke Pasar untuk Tekan Harga |
---|
Marak Beras Oplosan, Pemerintah Minta Penggilingan Padi Tidak Takut Lanjutkan Usaha |
---|
Isu Beras Oplosan Bikin Pedagang Menjerit, Omzet Anjlok Hingga Harga yang Terus Melambung |
---|
Pedagang Beras di 3 Kabupaten Jateng Tak Terdampak Beras Premium Oplosan |
---|
Marak Beras Bermerek Hasil Oplosan Bikin Warga Cilacap Menyerbu Pedagang Eceran |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.