Jumat, 3 Oktober 2025

BPRA Diusulkan di Bawah Presiden Agar Mempercepat Distribusi Tanah untuk Rakyat

Ada 2.350 desa yang secara legal berada di kawasan hutan dan warganya terus diperlakukan bak pendatang di tanah leluhurnya sendiri.

Penulis: Erik S
Istimewa
KEPEMILIKAN TANAH- Forum Group Discussion (FGD) Pertanahan yang diselenggarakan Great Institute Rabu (1/10/2025), di Jakarta Selatan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-  Ketua Dewan Pembina GREAT Institute Moh Jumhur Hidayat menyoroti mengenai ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia.

Menurut Jumhur, ketimpangan kepemilikan tanah parah sekali. Keterangan tersebut disampaikan Jumhur dalam Forum Group Discussion (FGD) Pertanahan yang diselenggarakan Great Institute Rabu (1/10/2025), di Jakarta Selatan.

Turut hadir sebagai narasumber pada FGD tersebut Dr. Yagus Suyadi dari Bank Tanah, Ahmad Irawan SH, MH dari Komisi II DPR RI, Dr Agung Indrajit dari Otorita IKN, Prof. Budi Mulyanto dari IPB, Dr. Lilis Mulyani dari BRIN, Dewi Kartika dari KPA, Arwin Lubis yang merupakan aktivis pertanahan sejak tahun 1980-an, serta peneliti Great Institute, Ir Hendry Harmen.

"Indeks Gini penguasaan tanah mencapai 0,78. Ada satu orang menguasai jutaan hektare, sementara mayoritas petani justru tak punya lahan dan bekerja sebagai buruh tani. Di sisi lain, penggusuran terhadap tanah rakyat masih terus berlangsung,” kata Jumhur.

Baca juga: Bank Tanah Siapkan 1.550 Hektare Lahan Reforma Agraria di Sulawesi Tengah

Ia menambahkan, forum ini terbuka, egaliter, dan bebas, dengan semangat merdeka dalam riset dan dialog.

“Mumpung presiden kita sekarang, Pak Prabowo Subianto, presiden yang cerdas dan berkerakyatan,” kata dia.

Sementara Ahmad Irawan SH, MH dari Komisi II DPR RI mengatakan ketimpangan kepemilikan tanah, menurut Ahmad Irawan, disebabkan karena peraturan dan distribusi kepemilikan berantakan.

“Semua ini ekses dari hak negara untuk menguasai tanah. Peraturan dibuat sepihak, dan ATR/BPN pun tidak punya otoritas penuh. Ada tanah yang masih masuk kawasan hutan, padahal masyarakat sudah menempati jauh sebelum republik ini berdiri,” kata Ahmad.

Ia menekankan, ada 2.350 desa yang secara legal berada di kawasan hutan dan warganya terus diperlakukan bak pendatang di tanah leluhurnya sendiri.

“Kalau korporasi butuh tanah, pemerintah selalu memberi jalan. Tapi kalau rakyat, selalu serba sulit,” kata dia.

Lebih jauh, ia menegaskan, hingga 21 April 2025 capaian Reforma Agraria pemerintah masih nol.

“Yang paling penting adalah kepastian hukum,” ujarnya.

Dia juga menegaskan soal pembentukan pansus Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) harus dibuat besar, yang melibatkan berbagai Komisi di DPR RI. Ahmad melihat BPRA dapat menyelesaikan tumpang tindih berbagai peraturan mengenai agraria. Ia meyakini bahwa BPRA dapat terimplementasi secepatnya.

Bank Tanah

Pada kesempatan yang sama, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mempertanyakan mengenai Bank Tanah.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved