Jumat, 3 Oktober 2025

Hasto Kristiyanto dan Kasusnya

Bergelar Doktor dari UNS Solo, Sosok Hakim Djuyamto yang Putus Praperadilan Hasto Tak Diterima

Hakim Djuyamto menyatakan, tidak menerima praperadilan Sekjen PDIP Hasto karena gugatan tersebut cacat formil.

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha
PRAPERADILAN HASTO - Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan, Djuyamto di Jakarta Pusat, Jumat (4/10/2024). Berikut sosok hakim Djuyamto menyatakan, tidak menerima praperadilan Sekjen PDIP Hasto karena gugatan tersebut cacat formil. 

Hartanya itu terdaftar di dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK.

Djuyamto terakhir kali melaporkan hartanya di LHKPN KPK pada 30 januari 2024.

Harta terbanyaknya berasal dari tanah dan bangunan yang ia miliki senilai Rp2,4 miliar.

Kemudian disusul dari harta alat transportasi dan mesin sebesar Rp454 juta, kas sebesar Ro145 juta, harta bergerak lainnya senilai Rp96 juta, dan harta lain senilai Rp60 juta.

Djuyamto juga melaporkan di LHKPN KPK bahwa dirinya memiliki utang sebesar Rp250 juta.

Bergelar doktor dari Universitas Negeri Sebelas Maret Solo

Dalam karya ilmiah disertasi berjudul ‘Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim Pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif’, Djuyamto mengusulkan agar majelis hakim bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi jika dalam persidangan terbukti memiliki keterlibatan.

Disertasi itu dibuat guna mendapatkan gelar Doktor atau Strata 3 (S3) dari UNS Solo dan telah dipaparkan dalam sidang terbuka promosi di Aula Gedung 3 (Gedung Amiek Sumindriyatmi) UNS Solo, Jumat (31/1/2025).

Dalam salah satu poin disertasinya, Djuyamto mengatakan jika seseorang sudah ditetapkan oleh hakim sebagai tersangka melalui proses persidangan, tidak dapat mengajukan praperadilan.

"Dalam disertasi saya, untuk status tersangka oleh hakim menurut saya tidak boleh dilakukan praperadilan," ucap Djuyamto kepada Tribunnews, Senin (3/2/2025).

Sebab dijelaskan Djuyamto, dalam aturan hukum acara pidana yang berlaku saat ini, proses praperadilan dilakukan untuk menguji sah atau tidaknya penetapan status tersangka seseorang yang disematkan oleh penyidik.

Menurut dia, proses praperadilan itu dilakukan hanya untuk menguji secara formil penetapan status seseorang tersebut.

"Sedangkan kalau alat bukti yang digunakan oleh hakim yang menjadi fakta di persidangan itu alat buktinya sudah dikaji baik dari sisi formil maupun materilnya, jadi tidak boleh lagi di praperadilan status tersangka yang ditetapkan oleh hakim," jelasnya.

Akan tetapi untuk memenuhi sisi hak asasi seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh hakim, dalam disertasinya itu Djuyamto menilai bahwa seseorang itu harus tetap dilindungi melalui aturan hukum acara.

Adapun salah satu perlindungan yang diberikan yakni kata Djuyamto, seseorang tersebut tidak bisa diadili atau di sidang oleh hakim yang pada saat itu telah menetapkan dirinya sebagai tersangka.

Hal itu menurut dia, agar menciptakan proses peradilan yang adil dan untuk menghindari adanya conflict of interest.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved