Berikan Perlindungan Sosial, Pekerja Gig Economy Didorong Masuk Revisi UU Ketenagakerjaan
Saat ini revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sedang dibahas di Komisi IX DPR RI.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pekerja di sektor gig economy atau pekerja informal paruh waktu berbasis platform digital diusulkan masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini sedang dibahas di DPR.
Pekerja gig economy adalah individu yang bekerja dengan pola fleksibel, sementara, dan umumnya berbasis proyek atau kontrak jangka pendek.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR Mukhtarudin, perlunya arah pengaturan yang jelas untuk melindungi pekerja gig, agar memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial kepada para pekerja yang umumnya terikat kontrak jangka pendek dan bekerja berbasis aplikasi digital.
Baca juga: Ini Strategi Prabowo-Gibran Siapkan Generasi Muda di Tengah Era Gig Economy
“Pengaturan ini diperlukan untuk memastikan kesejahteraan dan keberlanjutan pendapatan pekerja gig, yang seringkali terabaikan dalam sistem perlindungan sosial yang ada,” kata Mukhtarudin dikutip Rabu (3/9/2025).
Mukhtarudin yang menjadi Anggota Komisi XII DPR menyampaikan, pengaturan ini akan mengakui pekerja gig sebagai pekerja yang berhak atas hak-hak dasar, seperti jaminan sosial, perlindungan kesehatan, dan keamanan kerja setara dengan pekerja formal lainnya.
Hal ini sekaligus menciptakan iklim kerja yang adil dan transparan di sektor gig economy, dengan dasar hukum yang jelas terkait hubungan antara platform digital dan pekerja.
“Dalam konteks ini, usulan para pekerja ojek online yang meminta biaya potongan dari aplikasi sebesar 10 persen dapat terakomodasi, dan Partai Golkar tentu akan mendorong aspirasi ini masuk dalam revisi undang-undang ketenagakerjaan,” kata Mukhtarudin.
Mukhtarudin menjelaskan sejumlah aspek yang diusulkan Golkar dalam revisi tersebut, meliputi:
Pertama, Hak Pekerja Gig, yakni perlindungan jaminan sosial (kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja), upah yang adil, waktu kerja fleksibel, serta perjanjian kerja yang jelas.
Kedua, Kewajiban Platform Digital, meliputi tanggung jawab menyediakan perlindungan dasar seperti asuransi kesehatan, kompensasi kecelakaan, pelatihan, transparansi data penghasilan, dan pembayaran tepat waktu.
Ketiga, Fleksibilitas Kerja, yang tetap menjamin kebebasan pekerja memilih jenis pekerjaan dan waktu kerja tanpa menghilangkan hak-hak dasarnya.
Keempat, Penyelesaian Sengketa, melalui mekanisme yang adil antara pekerja dan platform, termasuk dalam penentuan tarif, kualitas layanan, maupun kondisi kerja lainnya.
“Pekerja gig economy mencakup banyak bidang dan harus diatur dengan payung hukum yang tepat. Tanpa regulasi yang jelas, mereka berisiko terus berada di ruang abu-abu hukum yang merugikan,” ujar legislator dari Daerah Pemilihan Kalimantan Tengah itu.
Saat ini, revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sedang dibahas di Komisi IX DPR RI.
Revisi ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 dan tengah berada di tahap pembahasan tingkat pertama, dengan menyerap masukan dari para ahli dan pakar ketenagakerjaan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Politisi PDIP Said Abdullah Singgung Gaya Koboi Menkeu Saat Rapat Bahas APBN 2026 di DPR |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Kirim Surpres Revisi UU BUMN ke DPR |
![]() |
---|
293 Anggota DPR RI Hadiri Rapat Paripurna Pengesahan APBN 2026 |
![]() |
---|
Luncurkan Sistem Anti Penyuapan dan Kecurangan, Kemnaker Tegaskan Komitmen Pemberantasan KKN |
![]() |
---|
5 Anggota DPR dari Kalangan Artis yang Latar Belakang Pendidikannya Disorot Lita Gading |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.