Selasa, 7 Oktober 2025

Program Makan Bergizi Gratis

Masih Ada Makanan MBG Tersisa, HIPPI Serukan Selera Lokal, Sayur Asem Bisa Jadi Menu Pilihan

HIPPI Jakarta Selatan turut mencermati sejumlah dinamika dan tantangan yang perlu segera mendapat perhatian.

Tribun Solo/Anang Maruf Bagus Yuniar
MAKAN BERGIZI GRATIS - Ilustrasi Paket makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kebijakan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto berupa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan perhatian Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DPC Jakarta Selatan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto berupa Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan perhatian Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DPC Jakarta Selatan.

Meski pada prinsipnya MBG meningkatkan kualitas gizi generasi muda serta membangun sumber daya manusia yang sehat, kuat, dan produktif, HIPPI Jakarta Selatan turut mencermati sejumlah dinamika dan tantangan yang perlu segera mendapat perhatian.

Tujuannya bukan untuk mengkritisi, melainkan memperkuat fondasi program agar benar-benar tepat sasaran dan berkelanjutan.

Bagi HIPPI Jakarta Selatan, program ini bukan hanya langkah strategis dalam bidang kesehatan publik, tetapi juga merupakan peluang luar biasa untuk mendorong tumbuhnya ekosistem usaha pangan nasional.

MBG membuka ruang keterlibatan langsung bagi pelaku usaha lokal, UMKM, koperasi pangan, hingga petani dan nelayan yang menjadi bagian dari rantai pasok dapur-dapur komunitas di seluruh negeri.

Menurut Azka Aufary Ramli Ketua Umum DPC HIPPI Jakarta Selatan dan Regan Yapwito selaku Kepala Badan Otonom F&B HIPPI, masih ada beberapa catatan perbaikan untuk menjadi evaluasi pelaksaan program MBG tersebut.

 “Tidak sedikit laporan dari daerah yang menyebutkan bahwa meskipun menu sudah bergizi dan sesuai hitungan kalori, makanan tetap tersisa karena rasa yang kurang cocok dengan lidah anak-anak. Kondisi ini tentu menjadi tantangan serius, karena makanan yang tidak dimakan artinya manfaat gizi tidak terserap secara optimal, dan dalam skala besar, ini berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran negara.”

HPPI Jakarta Selatan berpandangan bahwa penentuan standar gizi memang keharusan, namun aspek rasa dan selera masyarakat lokal tidak boleh diabaikan.

Di negeri yang begitu kaya akan keragaman kuliner ini, satu jenis masakan yang disukai di Jawa belum tentu dapat diterima di Sulawesi atau Papua.

Oleh karena itu, HIPPI Jakarta Selatan mendorong agar Badan Gizi Nasional (BGN) menyusun pedoman rasa atau standar menu lokal yang mengintegrasikan kekayaan kuliner nusantara dengan prinsip gizi seimbang.

”Kami percaya bahwa makanan sehat tidak harus hambar. Justru dengan mengangkat menu-menu tradisional seperti ikan kuah kuning di Maluku, coto di Sulawesi Selatan, atau sayur asem di Jawa Barat anak-anak bisa merasa bangga dengan warisan kuliner daerahnya sekaligus mendapatkan asupan gizi yang memadai.

 Dalam hal pengolahan makanan, HIPPI Jakarta Selatan juga melihat pentingnya adanya standarisasi teknik memasak di dapur-dapur komunitas.

Sebab cara masak sangat memengaruhi nilai gizi dan rasa. Ayam yang digoreng tentu memiliki kandungan lemak yang berbeda dibanding ayam bakar atau rebus.

Sementara itu, Regan Yapwito selaku Kepala Badan Otonom F&B HIPPI Jakarta Selatan berpendat bahwa ketidakterpaduan dalam metode masak ini dapat menimbulkan ketimpangan hasil akhir antara satu dapur dengan dapur lainnya.

Oleh karena itu, diperlukan pelatihan teknis, best practices memasak sehat, serta manual pengolahan yang terstandardisasi namun tetap fleksibel pada kearifan lokal.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved