Program Makan Bergizi Gratis
Heboh Surat Agar Ortu Tidak Gugat Bila Anak Keracunan MBG, Pakar: Seolah Lepas Tanggung Jawab
Tak hanya itu distribusi makanan hingga monitoring evaluasi juga menjadi kunci penting agar program Serius dan memberikan manfaat besar bagi anak muda
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebuah surat pernyataan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 2 Brebes, Jawa Tengah viral di media sosial dalam beberapa waktu terakhir.
Baca juga: Pelajar SMA Keluhkan Menu MBG di Sukabumi Bau: Nasi Berlendir
Dalam surat tersebut, orangtua atau wali murid diminta memilih menerima atau menolak program MBG di sekolah. Jika menyetujui, terdapat enam poin yang harus disepakati, termasuk menanggung risiko kesehatan yang mungkin timbul.
Adapun enam poin itu antara lain gangguan pencernaan (seperti sakit perut, diare, atau mual), reaksi alergi terhadap bahan makanan tertentu, kontaminasi ringan akibat distribusi, ketidakcocokan makanan dengan kondisi anak, hingga kemungkinan keracunan makanan yang dipicu faktor di luar kendali sekolah. Selain itu, orangtua juga diminta membayar ganti rugi Rp 80 ribu apabila tempat makan rusak atau hilang.
Surat pernyataan ini memicu polemik di masyarakat. Banyak pihak menilai formulasi kalimatnya menimbulkan kesan bahwa sekolah maupun pemerintah ingin lepas tangan terhadap tanggung jawab keamanan pangan.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia sekaligus ahli kesehatan global, dr. Dicky Budiman, M.Sc.PH., Ph.D. (cand) menilai isi surat tersebut bermasalah dari sisi tata kelola komunikasi.
“Sebetulnya polemik soal surat pernyataan dalam kaitan dengan makan bergizi ini juga mencerminkan pentingnya governance, tata kelola yang baik atau good governance. Dan juga pentingnya komunikasi risiko pada publik yang juga baik. Dan juga integrasi kesehatan masyarakat dalam program nasional,” ungkap dr. Dicky kepada Tribunnews, Kamis (18/9/2025).
Ia menekankan bahwa kalimat dalam surat tersebut berpotensi besar menimbulkan persepsi lepas tangan. Jika dibiarkan, hal ini dapat memperlemah dukungan publik maupun orang tua terhadap program gizi nasional.
Baca juga: Kepala BGN Dadan Mendadak Ditelepon Prabowo, Tanya Isu Ompreng MBG Diduga Mengandung Minyak Babi
“Perlu ya, saya kira dengan kritik saya dengan bahasa dalam surat ini tidak tepat dan menimbulkan persepsi lepas tangan. Jadi ini tentu berpotensi besar ada miskomunikasi yang dapat memperlemah dukungan publik atau orang tua pada program gizi nasional,"tegasnya.
Ia pun menyarankan perlu ada standar komunikasi resmi dari pemerintah terkait program MBG ini. Lebih lanjut, dr. Dicky menegaskan perlunya sistem pengawasan yang transparan dalam program MBG.
Menurutnya, mekanisme surveilans gizi dan keamanan pangan harus memiliki jalur pelaporan cepat, terutama bila terjadi kasus luar biasa seperti keracunan makanan.
Selain itu, ia juga menyoroti bahwa pemerintah seharusnya tidak meminta orang tua untuk tidak menggugat.
Sebaliknya, yang lebih tepat adalah meminta kesediaan mereka memberikan informasi terkait kondisi kesehatan anak.
“Dan itu multi level ada badan gizi misalnya nasional maupun daerah yang memastikan standar mutu distribusi dan audit keamanan pangan di berbagai level," imbuhnya.
Sekolah juga bertanggung jawab pada pendataan kondisi siswa, literasi hingga pengawasan konsumsi.
Orangtua juga punya peran memberikan feedback atau umpan balik terkait kondisi anak dalam program ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.