Tribunners / Citizen Journalism
Putusan MK dan Tafsir Baru Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi Indonesia
Putusan MK mulai tahun 2029, Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah tidak lagi dilakukan secara serentak. Putusan MK ini bukan sekadar keputusan hukum.
Editor:
Sri Juliati
oleh Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn.
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi soal merawat kesadaran bahwa setiap pilihan punya konsekuensi historis.
Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menetapkan suatu putusan yang akan dikenang sepanjang sejarah demokrasi Indonesia.
Melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa mulai tahun 2029, Pemilu Nasional (yang sering diistilahkan sebagai "Pemilu Lima Kotak") dan Pemilu Daerah tidak lagi dilakukan secara serentak dalam satu hari.
Keserentakan pemilihan umum menurut MK harus dibagi menjadi dua, di mana keserentakan pertama adalah untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, dan Anggota DPD (nasional), sedangkan keserentakan kedua adalah untuk memilih DPRD dan Kepala Daerah (lokal).
Sekilas keputusan ini tampak teknokratis. Akan tetapi jika dibedah dalam kerangka teori kekuasaan, representasi, dan komunikasi politik publik sesungguhnya putusan ini merupakan reposisi besar dalam skema demokrasi Indonesia.
Reposisi yang bukan hanya sekedar bagaimana pemilu diselenggarakan tetapi juga bagaimana makna demokrasi itu sendiri diartikulasikan, disederhanakan, bahkan didefinisikan ulang.
Fragmentasi Polarisasi Politik Nasional dan Lokal
Di masa lalu, pemilu serentak terkesan memaksa isu lokal untuk larut dalam narasi nasional. Nama-nama besar di panggung Pilpres lebih menyedot atensi. Sementara pemilu legislatif daerah nyaris tanpa sorotan.
Dengan adanya pemisahan ini, maka logika politik nasional dan lokal akan berjalan pada orbitnya masing-masing.
Kita bisa belajar dari Jerman dan Spanyol yang menggunakan desain Pemilu terpisah antara federal dan daerah.
Akibatnya, di dua negara tersebut, partai-partai lokal punya peluang tumbuh secara organik tanpa "disandera" oleh popularitas elit nasional.
Indonesia berpotensi mengalami gejala serupa. Fragmentasi ini bisa menciptakan demokrasi yang lebih kaya warna, tetapi juga membuka peluang "konflik idiologis skala kecil" di daerah yang tidak lagi selaras dengan konfigurasi pusat.
Baca juga: AHY, Gibran dan Dialektika Kekuasaan: Menimbang Peran Wapres dan Menteri dalam Demokrasi
Turunnya Beban Teknis, Naiknya Beban Naratif
Tidak bisa disangkal bahwa Pemilu serentak dalam format lima kotak memiliki beban logistik, psikologis, dan administratif yang luar biasa.
Dengan adanya putusan pemisahan maka beban teknis itu dapat menurun drastis. Sebagai konsekuensinya partai dan kandidat harus dua kali membangun narasi politik yang segar dan relevan. Pertama untuk pemilu nasional dan kedua untuk pemilu lokal.
Amerika Serikat dan India adalah contoh negara demokrasi besar yang menyelenggarakan pemilu nasional dan lokal secara terpisah.
Sumber: TribunSolo.com
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Donald Trump dan Xi Jinping Sepakat Selamatkan Tiktok AS, Ini Syaratnya |
![]() |
---|
AS dan China Capai Kesepakatan Awal Soal TikTok, Pembicaraan Final Digelar Jumat dengan Xi Jinping |
![]() |
---|
Trump Umumkan Serangan Kedua AS ke Kapal Narkoba Venezuela, Tiga Orang Tewas |
![]() |
---|
10 Negara dengan Jumlah Danau Terbanyak: Kanada Peringkat Teratas Punya 879.800, Disusul Rusia & AS |
![]() |
---|
10 Negara dengan Mobil Listrik Terbanyak: Tiongkok Memimpin, Amerika Serikat Urutan Berapa? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.