Ahli Hukum UI: Jaksa Tak Punya Imunitas Absolut, Tapi Perlu Perlindungan dari Kriminalisasi
Dosen Fakultas Hukum UI menilai jaksa di Indonesia tidak memiliki imunitas absolut dan tetap dapat diproses secara hukum.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Choky Risda Ramadhan, menegaskan bahwa jaksa di Indonesia tidak memiliki imunitas absolut dan tetap dapat diproses secara hukum.
Namun, ia menilai perlindungan hukum tetap diperlukan untuk mencegah potensi kriminalisasi terhadap jaksa saat menjalankan tugas.
Pernyataan tersebut disampaikan Choky saat hadir sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (26/8/2025).
Sidang ini menggabungkan tiga perkara, yakni Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025, 15/PUU-XXIII/2025, dan 67/PUU-XXIII/2025.
Pasal yang diuji menyebutkan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Para pemohon menilai ketentuan tersebut berpotensi menciptakan imunitas absolut bagi jaksa, sehingga dapat menghambat proses hukum jika jaksa melakukan tindak pidana saat menjalankan tugas.
Namun menurut Choky, imunitas yang dimiliki jaksa bersifat terbatas atau qualified immunity, yang hanya berlaku selama jaksa menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan.
“Jaksa tetap dapat diproses hukum, sehingga Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Baca juga: Kejaksaan Kembali Digugat ke Pengadilan Buntut Belum Eksekusi Silfester Matutina
Ia menjelaskan bahwa perlindungan terhadap jaksa dapat diberikan melalui dua mekanisme: penundaan pemeriksaan atau prosedur khusus seperti review oleh Jaksa Agung.
Tujuannya adalah mencegah tindakan bermotif balas dendam dari pihak yang merasa dirugikan.
“Konsep temporary immunity bisa diterapkan ketika jaksa menangani perkara krusial yang melibatkan unsur politis dan potensi pembalasan yang tinggi,” ujar Choky.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa ketentuan dalam Pasal 8 ayat (5) merupakan bagian dari open legal policy, atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan DPR dan Pemerintah.
Menurutnya, mekanisme ini dipilih sebagai bentuk perlindungan terhadap profesi jaksa, sekaligus sebagai prosedur penyaringan yang sah secara konstitusional.
“Ini adalah bentuk screening yang dirancang oleh pembuat kebijakan untuk memastikan proses hukum terhadap jaksa dilakukan secara adil dan tidak dipengaruhi motif pribadi,” pungkasnya.
Adapun permohonan Perkara Nomor 9 diajukan oleh advokat Agus Salim dan Agung Arafat Saputra.
Dissenting Opinion Ketua MK Soroti Kilatnya Pembahasan UU TNI |
![]() |
---|
MK Minta Polri dan Kemenhub Hadirkan Fasilitas Lalu Lintas Ramah Penyandang Buta Warna |
![]() |
---|
MK Tolak Seluruh Permohonan Uji Formil Revisi UU TNI dari Masyarakat Sipil dan Mahasiswa |
![]() |
---|
Sekolah Ilmu Lingkungan UI Paparkan Soal Pengelolaan Limbah hingga Mitigasi Banjir Rob di Bekasi |
![]() |
---|
Pasal ‘Sapu Jagat’ UU Tipikor Digugat Adelin Lis, DPR Tegaskan Pentingnya Kepastian Hukum |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.