Pasal ‘Sapu Jagat’ UU Tipikor Digugat Adelin Lis, DPR Tegaskan Pentingnya Kepastian Hukum
DPR menegaskan bahwa Pasal 14 UU Tipikor dirancang sebagai norma penghubung antar-undang-undang guna menjamin kepastian hukum
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menegaskan bahwa Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dirancang sebagai norma penghubung antar-undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota Komisi III DPR, Nasir Jamil, dalam sidang uji materi perkara Nomor 123/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (16/9/2025).
Ia menekankan bahwa penerapan tindak pidana khusus harus berpijak pada maksud pembentuk undang-undang.
Nasir menjelaskan bahwa konstruksi Pasal 14 UU Tipikor dapat ditelusuri melalui risalah rapat Panitia Kerja V DPR bersama pemerintah pada 2 Juli 1969.
“Dari risalah tersebut, dapat dipahami bahwa keberadaan Pasal 14 dimaksudkan sebagai rujukan normatif bagi pembentuk undang-undang di masa mendatang,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika suatu perbuatan dalam undang-undang lain dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, maka cukup ditegaskan bahwa perbuatan tersebut termasuk Tipikor tanpa perlu merumuskan ulang sanksinya.
“Dengan demikian, Pasal 14 memiliki fungsi sebagai norma penghubung yang menjamin konsistensi dan kepastian hukum dalam sistem perundang-undangan terkait tindak pidana korupsi,” tegas Nasir.
Baca juga: UU Tipikor Dinilai Usang, KPK Desak Pembaruan Guna Hadapi Korupsi Modern
Gugatan dari Terpidana Adelin Lis
Uji materi terhadap Pasal 14 ini diajukan oleh terpidana korupsi Adelin Lis. Dalam sidang pendahuluan, kuasa hukumnya, Deni Daniel, menyebut kliennya dijerat melalui Putusan MA No. 68 K/Pid.Sus/2008 dengan menggunakan UU Tipikor.
Padahal, menurutnya, perbuatan Adelin berkaitan dengan kewajiban di sektor kehutanan, seperti Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi.
Ia menilai unsur “merugikan keuangan negara” dipaksakan melalui Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, sementara seharusnya perkara tersebut diatur melalui UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Deni berpendapat bahwa tanpa adanya klausul tegas dalam UU Kehutanan, penerapan Pasal 14 menjadi berlebihan dan bertentangan dengan asas systematische specialiteit.
Pandangan Hakim Konstitusi
Dalam sidang yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih turut mempertanyakan mengapa UU Tipikor bisa menjangkau pelanggaran yang seharusnya diatur oleh undang-undang sektoral.
Undang-undang sektoral adalah regulasi yang mengatur bidang-bidang khusus dalam pemerintahan, seperti keuangan, pertambangan, atau pendidikan, dengan peraturan yang spesifik sesuai kebutuhan sektor tersebut.
“Bagaimana pintu masuknya? Yang awalnya hanya pelanggaran administratif, kok bisa tiba-tiba menjadi tindak pidana korupsi? Ini yang perlu penjelasan lebih lanjut,” ujar Enny.
Ia juga mempertanyakan efektivitas pidana administratif dalam undang-undang sektoral jika Pasal 14 UU Tipikor tetap diterapkan.
“Apakah pidana administratif yang dirumuskan masih bisa berjalan sebagai bagian dari penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya, jika kemudian ada upaya menggunakan Pasal 14?” lanjutnya.
Enny menambahkan, ia tidak menemukan ketentuan serupa dalam undang-undang sektoral seperti pertambangan, minerba, maupun kehutanan.
Kompetensi Guru Jadi Fokus, Kemendikdasmen Siapkan Rp95 Miliar dari Total Anggaran Rp55,4 Triliun |
![]() |
---|
RUU Perampasan Aset Ditarget Rampung 2025, Mahfud MD: Tak Ada yang Menakutkan, yang Takut Koruptor |
![]() |
---|
Komjen Suyudi Bantah Isu Jadi Pengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit: Saya Fokus di BNN |
![]() |
---|
Komisi IX DPR RI Kunjungi Pabrik Jamu di Semarang, Soroti Pentingnya Jamu untuk Kesehatan Bangsa |
![]() |
---|
Minta Penanganan Banjir Bali Dilakukan secara Komprehensif, DPR: Mitigasi Bencana Jadi Perhatian |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.