Jumat, 3 Oktober 2025

Revisi KUHAP Memantik Kekhawatiran Terhadap Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Aparat

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memantik kekhawatiran serius terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.

HO/Ist
POLEMIK RUU KUHAP - Diskusi publik bertajuk "Konstitusionalisme KUHAP: Relevansi Asas Diferensiasi Fungsional dalam Penegakan Hukum" di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jakarta Selatan pada Jumat (15/8/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memantik kekhawatiran serius terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.

Muhammad Hafiz, Direktur Centra Initiative, sebuah lembaga advokasi kebijakan publik dan hak asasi manusia di Indonesia, menyoroti bahwa revisi KUHAP saat ini cenderung menyimpang dari prinsip konstitusional dan berisiko memperkuat dominasi satu institusi dalam proses hukum.

"Potensi penyalahgunaan aparat penegak hukum sebagai alat politik penguasa cukup besar jika kekuasaan yang ada pada aparat penegak hukum menjadi dominan dan absolut," katanya, dalam sebuah diskusi publik bertajuk "Konstitusionalisme KUHAP: Relevansi Asas Diferensiasi Fungsional dalam Penegakan Hukum", kemarin.

Ia menilai saat ini pembahasan terkait KUHAP tidak mengindahkan konstitusi.

Menurutnya hal tersebut akhirnya menyebabkan setidaknya dua hal. 

"Pertama, Revisi KUHAP potensial melampaui rumpun pemisahan lembaga negara yudikatif dan eksekutif, dengan adanya perluasan kewenangan kendali perkara pada satu institusi."

"Kedua, agenda penguatan HAM dalam KUHAP tidak terakomodasi, terutama terhadap penyandang disabilitas, yang seharusnya diatur di dalam KUHAP adalah kepentingan masyarakat dan kelompok rentan, malah terlupakan," ujarnya.

Menurut Hafiz, jika merujuk pada Konstitusi, balancing of power dalam penegakan hukum harus dijaga dalam KUHAP.

Tidak boleh ada satu institusi yang terlalu powerfull untuk memegang semua proses penegakan hukum, karena pasti akan mengakibatkan adanya abuse of power.

Untuk itu, sambungnya, KUHAP seharusnya konsisten dengan prinsip check and balances agar potensi-potensi penggunaan kekuasaan untuk kepentingan politik bisa dihindari.

"Untuk yang kedua, karena terlalu ambisius memperluas kewenangan, kelompok disabilitas berhadapan dengan hukum tidak diatur secara komprehensif dalam KUHAP. Padahal konsep hukum terkait disabilitas sudah berkembang dengan baik," katanya.

Implikasinya, person with disability bisa terkena hukuman maksimal seperti hukuman mati. Contohnya dalam kasus Rodrigo warga negara Brasil yang dieksekusi mati, padahal secara medis dia terkonfirmasi skizofrenia.

Lebih lanjut, berkenaan dengan kewenangan Penyitaan dan Penyadapan, ada dua hal yang perlu diperhatikan.

Di satu sisi, penyitaan itu perlu dipastikan apakah prosesnya sudah akuntabel dan transparan.

Perlu untuk diperhatikan apakah ada potensi-potensi barang sitaan kemudian hilang, defisit atau susut akibat ulah dari penegakan hukum itu sendiri.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved