Ketua MK Ungkap Penyebab Masyarakat Hukum Adat Kerap Kesulitan Penuhi Legal Standing
Suhartoyo menegaskan, bukan kepentingan masyarakat hukum adatnya yang sulit terepresentasikan, tetapi pengakuan entitasnya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat hukum adat kesulitan memenuhi legal standing ketika mengajukan permohonan uji formil atau materiil undang-undang (UU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua MK, Suhartoyo selaku narasumber “Beracara di Mahkamah Konstitusi” dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan XXVI DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar)-Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) pada akhir pekan ini di Jakarta, mengungkap kemungkinan penyebabnya.
“Mungkin yang menjadi persoalannya adalah karena untuk mendapatkan pengakuan masyarakat hukum adat itu yang agak sulit,” katanya, Minggu (13/7/2025).
Dalam PKPA yang dihelat secara hybrid tersebut, Suhartoyo menegaskan, bukan kepentingan masyarakat hukum adatnya yang sulit terepresentasikan, tetapi pengakuan entitasnya.
Terkait legal standing masyarakat hukum adat ini, MK mempunyai pendirian tersendiri. “Kalau masyarakat hukum adat itu, (menjadi) pemohon mengatasnamakan kepentingan masyarakat hukum adat, itu kalau tidak salah harus ada bukti,” tuturnya.
Buktinya, kata dia, masyarakat hukum adat tersebut harus terdaftar atau mendapat pengakuan di pemerintah daerah (pemda) setempat. Sayangnya, tidak semua Pemda mau menerbitkan Perda tentang keberadaan masyarakat hukum adat di wilayahnya.
MK menerapkan ketentuan tersebut agar keberadaan masyarakat hukum adat tidak dicatut oleh oknum atau pihak yang bukan merupakan masyarakat hukum adat.
“Tidak setiap orang bisa mengatasnamakan kepentingan masyarakat hukum adat,” ucapnya.
Ia mengungkapkan, pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat dari pemda setempat ini menyulitkan mereka memenuhi legal standing ketika memohonkan uji formil atau materiil ke MK.
“Bukan kepentingannya. Kalau kepentingannya saya kira tidak ada persoalan,” ujar dia menjawab pertanyaan salah seorang peserta PKPA.
Kesulitan ini membuat masyarakat hukum adat menamkan dirinya sekelompok orang yang punya kepentingan yang sama terhadap UU ketika mengajukan permohonan uji formil atau materiil terkait UU tersebut.
“Memang banyak (masyarakat hukum adat) yang merepresentasikan adalah sekelompok orang yang punya kepentingan yang sama,” tuturnya.
Menurut Suhartoyo, soal legal standing ini bukan hanya di MK, tetapi juga di Mahkamah Agung (MA) ketika masyarakat hukum adat akan melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU.
“Seperti di Mahkamah Agung, ada class action, kemudian di MK juga banyak juga beberapa entitas yang kemudian mengajukan gugatan di MK, karena merasa kepentingan yang sama,” katanya.
Lantas, apakah masyarat hukum adat menggunakan nomenklatur tersebut sebagai “pelarinan” karena sulitnya memenuhi legal standing kalau menggunakan nomenklatur masyarakat hukum adat, Suhartoyo tak menampik.
“Mungkin nomenklatur masyarakat hukum adatnya itu yang kemudian sulit mendapatkan pengakuan secara formal di mata pemerintah,” ujarnya.
Suhartoyo menilai bahwa nomenklatur sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dengan masyarakat hukum adat, perbedaannya tidak terlalu signifikan.
“Saya kira beda-beda tipis. Hanya nomenklaturnya yang berbeda,” tuturnya.
PKPA Angkatan XXVI DPC Peradi Jakbar-Ubhara Jaya diikuti oleh 106 peserta. “Di sini ada 47 peserta offline dan 59 peserta online,” kata Fortuna Alvariza, ketua panitia PKPA.
MK Tak Terima Gugatan Soal Syarat Polisi Harus S1, Pemohon Dinilai Tak Punya Legal Standing |
![]() |
---|
Dissenting Opinion Ketua MK Soroti Kilatnya Pembahasan UU TNI |
![]() |
---|
MK Minta Polri dan Kemenhub Hadirkan Fasilitas Lalu Lintas Ramah Penyandang Buta Warna |
![]() |
---|
MK Tolak Seluruh Permohonan Uji Formil Revisi UU TNI dari Masyarakat Sipil dan Mahasiswa |
![]() |
---|
Pasal ‘Sapu Jagat’ UU Tipikor Digugat Adelin Lis, DPR Tegaskan Pentingnya Kepastian Hukum |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.