Sabtu, 4 Oktober 2025

Pertimbangan MK Putuskan Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Serentak: Banyak Politik Praktis

Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menghapus keserentakan pelaksanaan pemilihan umum atau Pemilu nasional dengan Pilkada dalam rentang waktu yang sama.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Danang Triatmojo
MK HAPUS KESERENTAKAN - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta pada Kamis (26/6/2025). MK memutuskan Pemilu dan Pilkada tak lagi serentak. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menghapus keserentakan pelaksanaan pemilihan umum atau Pemilu nasional dengan Pilkada dalam rentang waktu yang sama. 

MK memutus gelaran Pilkada dijeda selama 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun dihitung setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan DPD RI.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat untuk perkara nomor 135/PUU-XXII/2024, keserentakan semua jenis pemilihan membuat terjadi tumpukan beban kerja penyelenggara Pemilu yang juga berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan.

MK berkaca pada Pemilu 2019 dan 2024.

Keserentakan dipandang berimplikasi pada partai politik dalam menyiapkan kadernya.

Baca juga: MK Putuskan Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Serentak, Kini Dibagi Lokal dan Nasional, Apa Maksudnya?

Dalam waktu bersamaan Parpol harus menyiapkan ribuan kader untuk semua jenjang kontestasi pemilihan umum di tingkat nasional maupun daerah.

Kondisi itu membuat Parpol tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.

"Misalnya partai politik menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan untuk mengikuti keinginan para pemilik modal dan semata memperhitungkan popularitas calon non kader, karena partai politik tidak lagi memiliki kesempatan, waktu, dan energi untuk mempersiapkan kader sendiri dalam waktu yang hampir bersamaan," kata Arief dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Baca juga: BREAKING NEWS: Pemilu dan Pilkada Tak Lagi Serentak Mulai 2029, Harus Ada Jeda 2 Tahun

Parpol terpaksa merekrut calon yang populer demi elektoral.

Hal ini berakibat pada perekrutan pejabat politik bersifat transaksional.

Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, keserentakan membuat masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional. 

Keserentakan juga dianggap telah membuat pemilih jenuh, karena mereka harus mencoblos dan menentukan pilihan dari banyaknya calon pada pemilihan legislatif nasional dan legislatif daerah, serta presiden dan wakil presiden.  

Banyaknya calon dalam kertas suara dan terbatasnya waktu di bilik suara juga membuat fokus pemilih terpecah. 

Kondisi ini disadari atau tidak, berdampak pada turunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Saldi mengatakan, putusan menjeda 2 tahun antara pemilihan tingkat nasional dan tingkat daerah diputuskan karena setelah 5 tahun dari berlakunya Putusan MK Nomor 55 tahun 2019, pemerintah dan DPR belum melakukan perubahan atas UU 7/2017. 

"Secara faktual setelah melewati lebih 5 tahun sejak putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 diucapkan, pembentuk undang - undang belum melakukan perubahan atas UU 7/2017," kata Saldi.

Diketahui Pemilu nasional dan Pilkada kini harus berlangsung dengan jeda maksimal 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.

Hal itu diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan pada Kamis (26/6/2025).

MK menyatakan norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa:

"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."

Dengan pemaknaan tersebut, MK menegaskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak tidak bisa lagi dilakukan dalam satu waktu bersamaan.

Norma-norma lain terkait model penyelenggaraan pemilu ke depan pun harus disesuaikan dengan makna tersebut.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved