Jumat, 3 Oktober 2025

Abraham Samad: Indonesia Perlu Terapkan Model Tiongkok dalam Pemberantasan Korupsi

Abraham Samad, menilai kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan oleh sifatnya yang sistemik.

Tribunnews.com/Ilham Ryan Pratama/Irwan Rismawan/IST
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, Agus Raharjo, Ketua KPK periode 2015-2019 dan Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo menjadi narasumber sarasehan Kebangsaan bertema Urgensi Berantas Kejahatan Korupsi Secara Tuntas Paripurna" yang digelar Aliansi Kebangsaan secara daring, Jumat (14/3/2025). Samad menilai kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan oleh sifatnya yang sistemik sehingga Indonesia perlu belajar dari Tiongkok. 

"Di Indonesia, sanksi sosial seperti ini hampir tidak ada. Bahkan, mantan koruptor sering kali masih dihormati," tambahnya.

Menurut Samad, ada beberapa kendala utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain lemahnya penegakan hukum, karena lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sering kali tidak konsisten dalam memberikan hukuman berat kepada koruptor.

Kemudian, tidak adanya Undang-Undang Perampasan Aset yang efektif, sehingga upaya pemiskinan koruptor sulit dilakukan.

Baca juga: Dr. Abraham Samad, S.H., M.H.

"Juga rendahnya sanksi sosial terhadap mantan koruptor, di mana mereka masih dihormati dan bahkan diberi kesempatan kembali ke dunia politik," katanya.

Samad mengusulkan agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai alat untuk memiskinkan koruptor serta merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi guna memasukkan sanksi yang lebih berat, seperti yang diterapkan di China.

"Perbaikan sistem integritas nasional, baik di tingkat kelembagaan maupun individu, perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi. Selain itu, masyarakat harus didorong untuk memberikan sanksi sosial kepada mantan koruptor, seperti mengucilkan mereka dari kehidupan sosial dan politik," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Agus Raharjo mengatakan, sampai saat ini belum satu pun presiden yang pernah memimpin Indonesia yang membangun secara kuat penanganan dan pencegahan korupsi.

Menurut Agus, dengan penduduk mayoritas Islam mencapai 87,4 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, mestinya memberantas korupsi tidak sulit.

"Namun nyatanya, nilai-nilai Islam belum tercermin pada perilaku antikorupsi, padahal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sudah mengeluarkan hukum atau fatwa tentang korupsi," katanya.

Prof. Sudjito Atmoredjo mengatakan korupsi merupakan extraordinary crime yang terjadi karena ada niat jahat dan juga kesempatan serta berimplikasi pada rusaknya sendi-sendi kehidupan bernegara.

Pontjo Sutowo mengatakan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selalu menghadapi hambatan dan tantangan yang luar biasa hebatnya.

"Saat ini negara tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah yang sah, akan tetapi oleh jaringan kepentingan yang beroperasi di belakang layar. Jadi bukan lagi persoalan individu yang korup, tetapi merupakan sistem yang dirancang agar korupsi bisa berjalan pada mekanisme kerja negara," ujar Pontjo.

Menurutnya, demi menguras sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya ekonomi nasional, baik untuk kepentingan individu, pihak tertentu, sekelompok orang, bahkan negara asing, pejabat korup tidak akan segan memanipulasi prinsip rule of law menjadi rule by law. 

Melalui otokratisasi, sejumlah pejabat korup akan beroperasi bersama oligarki yang serakah.
"Mereka atas nama negara kemudian mengambil alih tanah dan wilayah yang di dalamnya terkandung kekayaan alam dari kerajaan-kerajaan Nusantara, dari masyarakat adat yang sudah ratusan tahun menghuni tanah atau wilayah tersebut," lanjut Pontjo.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved