Anjloknya IPK Indonesia 2022 Dinilai ICW Sebagai Gagal Total Pemberantasan Korupsi Era Jokowi
(ICW) menilai gembar-gembor narasi penguatan pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo tak pernah terbukti.
Contoh kedua, lanjutnya, momen lain diperlihatkan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang mana beberapa waktu lalu, dalam kutipan sejumlah pemberitaan, meminta kepada aparat penegak hukum untuk tidak menindak kepala daerah, melainkan fokus pada pendampingan.
"Pernyataan-pernyataan semacam ini tentu menunjukan sikap yang berseberangan dengan harapan atas perbaikan pemberantasan korupsi," kata Kurnia.
Ketiga, Kurnia mengatakan, regulasi yang sejatinya merupakan produk politik antara Presiden dan DPR tidak kunjung mendukung penguatan pemberantasan korupsi.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, disebutnya, undang-undang yang diundangkan tak lebih dari sekadar upaya untuk semakin mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.
Baca juga: DPR Yakin Tak Ada Kaitan Merosotnya Skor IPK dengan Revisi UU KPK
"Mulai dari KUHP, UU Pemasyarakatan, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi (MK), dan UU Minerba. Segala yang diucapkan oleh pembentuk UU berkaitan dengan pemberantasan korupsi terbukti hanya ilusi, tanpa ada langkah konkret," kata Kurnia.
"Begitu pula Presiden, janji politik saat kampanye tahun 2014 maupun 2019 dilupakan begitu saja seiring dengan menguatnya lingkaran kepentingan politik," imbuhnya.
Keempat, ICW menyebut pemerintah dan DPR terbilang gagal menciptakan kepastian hukum untuk menjamin gelaran pesta demokrasi mengedepankan nilai-nilai integritas.
Sebagaimana diketahui, pada dasarnya UU Pemilu dan UU Pilkada masih memperbolehkan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif.
"Sekalipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang melarangnya dengan skema pembatasan waktu jeda lima tahun, namun dapat dilihat bahwa sikap pemerintah dan DPR sebenarnya masih menginginkan mereka dapat kembali berkompetisi," ujar Kurnia.
"Sebab, perubahan ketentuan itu bukan berasal dari pembentuk UU, melainkan karena putusan MK," tambahnya.
Situasi terkini, terbukti pembentuk UU juga tidak merevisi UU Pemilu untuk klausula calon anggota DPD RI yang mana masih memperbolehkan mantan terpidana korupsi mendaftarkan diri.
"Hal ini tentu bertolak belakang dengan narasi pemerintah yang kerap kali menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai pijakan utama," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, kondisi carut marut pemberantasan korupsi ini timpang dan paradoks dengan ucapan Presiden Jokowi saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Dunia (Hakordia) tahun 2022 lalu.
Kala itu, Jokowi mengatakan korupsi adalah pangkal dari berbagai tantangan dan masalah pembangunan: dari urusan penciptaan lapangan kerja, mutu pekerjaan, pelayanan masyarakat, hingga harga kebutuhan pokok.
"Mencermati IPK Indonesia, dapat disimpulkan bahwa untaian kalimat Presiden terkait pemberantasan korupsi hanya sekadar pemanis pidato semata. Rezim Presiden Joko Widodo juga akan dicatat sebagai pemerintahan paling buruk pasca-reformasi dalam konteks pemberantasan korupsi," ujarnya.
"Selain itu, jelang pergantian kekuasaan tahun 2024, Presiden juga gagal mewariskan kebijakan antikorupsi yang baik," Kurnia memungkasi.
Nasib Pilu Produsen Alsintan Madiun: Jokowi Janji Beli 1.000 Unit 10 Tahun Lalu, Kini Malah Merugi |
![]() |
---|
KPK Ingatkan Potensi Korupsi Rp 200 T di Bank Himbara, Menkeu Purbaya: Potensi Pasti Ada |
![]() |
---|
Sosok Hilman Latief, Dirjen PHU Kemenag Diperiksa KPK, Diduga Terima Aliran Dana Korupsi Kuota Haji |
![]() |
---|
Seperti Jokowi, Prabowo Sering Lakukan Reshuffle pada Hari Rabu, Murid Tiru Guru? |
![]() |
---|
Sertijab di Kemenpora RI, Momen Dito Ariotedjo Candai Roy Suryo soal Ijazah Erick Thohir: Aman, Pak? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.