Kamis, 2 Oktober 2025

Otto Hasibuan Sebut Sistem Multi Bar akan Menyebabkan Disparitas Kualitas Advokat

Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi, Otto Hasibuan memberikan pembekalan kepada 730 orang advokat Peradi yang baru diangkat di Jakarta, Selasa (17/1/2023).

Editor: Wahyu Aji
ist
Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi, Otto Hasibuan usai memberikan pembekalan kepada 730 orang advokat Peradi yang baru diangkat di Jakarta, Selasa (17/1/2023) malam. 

DPR melakukan studi banding ke Belanda, begitu juga sejumlah advokat termasuk Otto melakukan hal yang sama.

Singkat cerita, DPR dan advokat sepakat untuk memutuskan dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 bahwa sistem organisasi advokat yang dianut di Indonesia adalah single bar, yakni satu-satunya organisasi advokat yang memiliki kewenangan tunggal untuk mengatur advokat. 

“Ketika ditetapkan single bar, tidak ada satu pun fraksi di DPR yang dispute. Semua advokat dan organisasi yang memperjuangkan, semuanya sepakat harus single bar. Seluruhnya sepakat, single bar is a must,” kata Otto.

Baca juga: Otto Hasibuan: Peradi Terus Berjuang Mewujudkan Single Bar

Semua pihak sepakat single bar, lanjut Otto, karena ada dua alasan utama. Selain itu, di semua negara di dunia juga menganut sistem single bar. “Di seluruh dunia ini, tidak negara ada menggunakan sistem multi bar. Amerika, Singapura, Jepang sekali pun. Jepang Federation Bar Association, dia tidak multi bar. Presidennya, Akimura, mengatakan, negara kita Federasi tapi sistemnya kita adalah single bar,” ujar Otto.

Adapun kedua alasan utama menerapkan single bar, kata dia, pertama; prinsip mendasar, advokat itu sesungguhnya primus interparis, yakni the best among the best atau yang terbaik di antara yang terbaik.‎ “Kalau tidak yang terbaik di antara yang terbaik, maka yang bisa jadi korban itu klien.  Klien itu rakyat pencari keadilan. Jadi kita sebagaj advokat harus the best, profesional, berintegritas, dan berkualitas,” katanya.

Menurutnya, kalau advokat tidak berkualitas maka akan merugikan kliennya. Misal, karena tidak menguasai hukum atau perundang-undangan, maka yang seharusnya perkara kliennya menang, menjadi kalah.

Agar advokat itu mempunyai standardisasi kompetensi kualitas yang baik, maka single bar atau wadah tunggal merupakan keniscayaan. Multi bar akan menyebabkan disparitas kualitas advokat.

“Di sini standardisasi nilainya B itu lulus misalnya, di sana (organisasi lain) tidak perlu ujian, lulus. Nilai 3 bisa lulus. Ujian 100 yang lulus 300. Sehingga standar advokat menjadi rendah,” tuturnya.

Menurutnya, hal itu bertentangan dengan amanat UU Advokat ‎Nomor 18 Tahun 2003 yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas advokat Indonesia. “Itu perintah UU. Jadi harus ada satu organisasi advokat,” katanya.

Kedua, pengawasan. Ia menilai, kalau tidak ada pengawasan maka para advokat akan bertindak sesuka hati, atau paling tidak tindakannya berpotensi merugikan kliennya. Kemudian, tindakan itu tidak bisa dihukum karena kalau dipecat dari satu organisasi advokat, maka pindah ke organisasi lain seperti yang terjadi sekarang.

‎“Kalau multibar, kita seperti di hutan belantara. Itu sebabnya di UU Advokat memerintahkan seluruh advokat‎ yang diangkat wajib menjadi anggota Peradi,” katanya.

Sedangkan untuk menjadi anggota Peradi, harus menempuh ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Namun ketentuan UU Advokat ini dilanggar oleh Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, sehingga di luar Peradi menjadi bisa mengajukan penyumpahan advokat ke Pengadilan Tinggi (PT).

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved