Jumat, 3 Oktober 2025

IDAI Ingatkan Pemerintah Soal Kebijakan Ibu Menyusui dan Cuti Enam Bulan

Banyak ibu yang hanya mendapatkan informasi saat sudah melahirkan saat tubuh dan pikirannya sudah kelelahan. Karena menyusui adalah perjalanan panjang

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: willy Widianto
Freepik
IDAI INGATKAN PERAN IBU MENYUSUI - Ilustrasi ibu menyusui. Menyusui bukan hanya tentang kedekatan antara ibu dan bayi. Bukan pula sekadar rutinitas alami yang berlangsung begitu saja. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menyusui bukan hanya tentang kedekatan antara ibu dan bayi. Bukan pula sekadar rutinitas alami yang berlangsung begitu saja. 

Baca juga: Pekan ASI Sedunia 2025, Ini 5 Pekerjaan Rumah Indonesia dari WHO

Dalam praktiknya, menyusui adalah perjuangan panjang yang membutuhkan sistem dukungan menyeluruh mulai dari keluarga, tempat kerja, tenaga kesehatan, hingga negara.

Karena itu Pekan Menyusui Dunia 2025 menjadi momen refleksi penting untuk melihat kembali. Sudahkah ibu-ibu di Indonesia benar-benar mendapatkan dukungan tersebut. Apalgi saat ini semakin masif iklan susu formula, tekanan sosial, dan minimnya fasilitas publik untuk ibu menyusui, banyak ibu yang akhirnya menyerah di tengah jalan. 

Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. dr. Naomi Esthernita F Dewanto menyebut menyusui bukan hanya memberi makan, tapi menyelamatkan masa depan. "Breastfeeding is easier kalau kita punya lingkungan, punya teman, punya saudara yang sangat mensupport," ujarnya dalam seminar virtual yang diadakan IDAI, Minggu (3/8/2025). 

Salah satu sorotannya adalah pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang mendukung ibu menyusui. Diantaranya cuti melahirkan selama enam bulan yang masih belum menjadi standar nasional. 

Padahal, enam bulan pertama adalah masa emas pemberian ASI eksklusif.
Tidak hanya itu, ketersediaan ruang laktasi di tempat kerja dan ruang publik, serta penegakan kode internasional pemasaran susu formula juga menjadi PR besar. 

Tanpa perlindungan hukum dan dukungan fasilitas, menyusui akan tetap menjadi perjuangan yang berat. Faktanya, perusahaan yang mempekerjakan perempuan seharusnya wajib menyediakan fasilitas laktasi. 

Sebab jika tidak, risiko jangka panjangnya justru lebih mahal. Bayi rentan sakit, ibu terpaksa cuti karena anak tidak sehat, dan produktivitas kerja terganggu. “Kalau sakit ibunya tidak masuk, lebih rugi lagi ya. Daripada dikasih waktu untuk memerah ASI,” kata Dokter Naomi.

Peran keluarga lanjut Dokter Naomi kini justru sering menjadi batu sandungan. Masih banyak ibu menyusui yang mendapat tekanan dari lingkungan terdekat, baik dari pasangan, ibu, atau mertua yang tidak memahami proses menyusui.

Baca juga: DPD RI Optimistis Target 20 Juta Penerima MBG Sebelum 17 Agustus 2025 Tercapai

Kekhawatiran bahwa ASI belum keluar atau bayi kelaparan seringkali mendorong penggunaan susu formula terlalu dini.  Padahal, secara fisiologis, hari-hari awal kelahiran memang belum menunjukkan produksi ASI yang deras. 

Itulah mengapa edukasi penting diberikan bukan hanya kepada ibu, tapi juga keluarga inti. Komunitas pun memiliki kontribusi besar. Pembentukan support group ibu menyusui, edukasi peran ayah, hingga pelibatan calon ayah dalam kursus menyusui menjadi inisiatif yang semakin digencarkan.

“Baru-baru ini kami mengadakan Indonesian Breastfeeding Course for Clinician, dan menariknya, beberapa dokter laki-laki ikut. Ini bentuk dukungan agar edukasi menyusui menjangkau calon ayah juga,” tutur dr  Naomi.

Dalam proses menyusui, pendampingan oleh tenaga kesehatan memegang peran krusial.  Namun banyak ibu yang hanya mendapatkan informasi saat sudah melahirkan saat tubuh dan pikirannya sudah kelelahan.

Pendekatan yang lebih ideal adalah edukasi sejak masa kehamilan (antenatal).  Konseling laktasi sebaiknya dilakukan secara berkala yaitu saat hamil, setelah melahirkan, ketika pulang dari rumah sakit, masa kembali bekerja, hingga memasuki fase Makanan Pendamping ASI (MPASI). 

WHO bahkan merekomendasikan minimal enam kali pertemuan konseling laktasi untuk setiap ibu. Edukasi yang diberikan pun harus berbasis bukti, termasuk tidak menyarankan penggunaan botol dot atau empeng di awal-awal kehidupan bayi. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved