Minggu, 5 Oktober 2025

Anak Indonesia Berisiko Alami Penyakit Langka Neurofibromatosis Tipe 1

Anak di Indonesia berisiko mengalami penyakit langka diantaranya Neurofibromatosis Tipe 1 (NF1).

halodoc
Neurofibromatosis tipe 1 (NF1) adalah kondisi genetik yang menyebabkan tumor tumbuh di sepanjang saraf. 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Anak di Indonesia berisiko mengalami penyakit langka diantaranya Neurofibromatosis Tipe 1 (NF1).

Merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) ada sekitar 27 juta orang Indonesia berisiko mengalami penyakit langka.

Baca juga: Mengenal Moyamoya, Penyakit Langka Pemicu Stroke di Masa Muda, Usia 3 Tahun Bisa Terserang

Jika dirinci 50 persen di antaranya adalah anak-anak, dan 30 persen dari mereka tidak bertahan hidup hingga usia lima tahun.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes RI dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid dalam kegiatan memperingati Hari Kesadaran Neurofibromatosis Sedunia (World NF Awareness Day) setiap tanggal 17 Mei, yang digelar AstraZeneca di Jakarta.

Baca juga: Mengenang Babe Cabita, Tetap Menghibur meski Sedang Idap Penyakit Langka

"Pada tahun 2024, sekitar 75 persen kematian di Indonesia disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (PTM), termasuk penyakit langka seperti NF1," tutur dia.

Data menunjukkan Neurofibromatosis Tipe 1 (NF1) memengaruhi 1 dari 3.000 anak-anak di seluruh dunia, termasuk sekitar 120 bayi yang lahir setiap hari.

NF1 adalah penyakit langka paling umum terdeteksi pada anak usia dini dengan adanya perubahan pada kulit atau tumor saraf.

NF1 biasanya ditandai dengan munculnya bercak café-au-lait pada kulit, neurofibroma (tumor pada saraf), serta gangguan lain seperti kesulitan belajar.

Sejumlah kasus telah tercatat di Indonesia yaitu, pada anak usia 8 tahun, anak usia 12 tahun  hingga orang dewasa yang mengalami komplikasi berupa tumor
Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak
Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), Dokter Spesialis Anak mengatakan, gejala awalnya sering tidak dikenali sebagai bagian dari penyakit, padahal bisa berkembang menjadi tumor di jaringan saraf dan berdampak pada berbagai organ.

Penanganan NF1 tidak bisa dilakukan oleh satu spesialis saja—ini adalah kondisi yang membutuhkan kolaborasi dari tim medis multidisipliner sejak awal.

"Jika dikenali dengan tepat, diagnosis sebenarnya tidak sulit ditegakkan. Namun dalam praktiknya, banyak gejala awal yang tidak disadari, sehingga penanganan sering terlambat," ungkap Prof Damayanti.

Dokter Spesialis Anak subspesialis Neurologi Anak, Konsultan Neurologi Anak
dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K), MMed ClinNeurophysiol menambahkan, pada kasus dengan neurofibroma pleksiform, penanganan menjadi semakin kompleks karena risiko nyeri, gangguan fungsi, hingga transformasi menjadi tumor ganas.

Kondisi ini membutuhkan pemantauan jangka panjang dan pendekatan multidisipliner untuk mengelola komplikasi dan menjaga kualitas hidup pasien. 

Saat ini, pembedahan merupakan salah satu terapi utama untuk menangani NF1, terutama bila tumor menekan organ vital atau mengganggu fungsi tubuh.

Namun, pada kasus neurofibroma plexiform (NP) yang tidak dapat dioperasi, kini memiliki akses terhadap Selumetinib terapi pertama yang diakui secara global untuk menangani NF1.

“Pasien dengan penyakit langka, termasuk NF1, sering menghadapi tantangan baik dari segi medis, psikologis, dan sosial. Selain itu, karena minimnya informasi, tantangan dalam diagnosis, serta akses layanan yang belum merata menjadi hambatan nyata. Sebagai organisasi pasien, kami berharap semakin banyak pihak yang memahami dan peduli,” ujar Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia Peni Utami.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved