Transplantasi dari Donor Meninggal Dunia Jadi Harapan Baru Pasien Gagal Ginjal
200.000 pasien menjalani terapi hemodialisis setiap tahun. Transplantasi ginjal menjadi salah satu terobosan medis penting bagi pasien gagal ginjal
Penulis:
willy Widianto
Editor:
Erik S
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk meningkatkan harapan hidup para pasien gagal ginjal yang melakukan transplantasi ginjal dengan standar dan hasil setara dengan rumah sakit internasional, pihak Siloam International Hospitals terus memperkuat kompetensi para dokter spesialis dan tim paramedis, fasilitas kesehatan dan kualitas pelayanannya.
Salah satu yang dilakukan adalah penguatan sistem donor dari pasien yang meninggal dunia, strategi pencegahan reaksi penolakan organ, hingga inovasi pemanfaatan teknologi robotik yang diyakini akan menjadi masa depan transplantasi ginjal. Topik-topik dari diskusi ini dapat memperkuat penanganan kasus gagal ginjal.
Data Kementerian Kesehatan RI menyebutkan lebih dari 200.000 pasien menjalani terapi hemodialisis setiap tahun. Transplantasi ginjal menjadi salah satu terobosan medis penting bagi pasien gagal ginjal stadium akhir.
Namun demikian minimnya ketersediaan donor dengan berbagai masalah lain masih memerlukan penyelesaian.
Baca juga: Cerita Imma Yuliana, Satu dari Jutaan Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Bisa Bernafas Berkat JKN
Dokter Spesialis Anestesi Siloam Hospitals ASRI dr Aries Perdana Sp. An-KKV mengatakan bahwa transplantasi dari donor meninggal dunia (cadaveric donor) dapat menjadi solusi nyata untuk keterbatasan donor hidup di Indonesia.
“Keberhasilan program donor kadaver sangat bergantung pada diagnosis mati batang otak (MBO) yang akurat, manajemen donor di ICU, serta koordinasi lintas rumah sakit secara nasional,” ujar dr Aries dalam pernyataannya saat diskusi Siloam Urology – Nephrology Summit 2025 di Jakarta, Selasa(16/9/2025).
Pandangan ini diperkuat oleh Dokter Spesialis Urologi Siloam ASRI Prof. dr. Agus Rizal Ardy Hariandy Hamid, SpU(K), FICRS, PhD, yang menyoroti pentingnya menilai kualitas donor dan penerima secara menyeluruh.
“Kualitas donor, kondisi klinis penerima, serta pemantauan jangka panjang adalah faktor-faktor yang saling berkaitan. Semua ini menentukan apakah transplantasi akan memberikan manfaat maksimal bagi pasien,” tuturnya.
Prof. Dr. dr. Endang Susalit, SpPD-KGH, FINASIM yang berpraktik di Siloam Hospitals ASRI menjelaskan bahwa keberhasilan transplantasi ginjal tidak berhenti setelah operasi selesai. Tantangan terbesar justru datang dari risiko tubuh pasien menolak organ baru yang dianggap sebagai benda asing.
“Untuk mencegah penolakan ini, pasien harus mengonsumsi obat khusus yang disebut obat penekan sistem imun, atau imunosupresan pada waktu tertentu. Obat ini membuat tubuh tidak menyerang ginjal baru sehingga organ bisa berfungsi dengan baik,” terang Prof. Endang dalam paparannya.
Baca juga: Sedang Dilanda Banjir, Waspada Penyakit ‘Seribu Wajah’, Bisa Sebabkan Gagal Ginjal
Ia menambahkan, salah satu obat utama yang digunakan adalah tacrolimus, yang terbukti efektif tetapi harus diberikan dengan pemantauan ketat. Bentuk dosis sekali sehari kini menjadi pilihan karena lebih mudah diikuti pasien, sehingga meningkatkan kepatuhan pengobatan.
“Kepatuhan pasien sangat penting. Obat bisa efektif, tapi tanpa disiplin minum obat, risiko kegagalan transplantasi tetap tinggi,” tegasnya.
Di lain pihak perkembangan teknologi menjadi sebuah kebutuhan Pakar Transplantasi Ginjal dari Korea Selatan Prof. Shin Sung memaparkan bahwa teknologi robot transplantasi ginjal (robotic kidney transplantation) menawarkan prosedur yang lebih presisi, minim invasif, serta pemulihan yang lebih cepat.
“Dengan bantuan teknologi robotik, risiko komplikasi dapat ditekan, waktu pemulihan lebih singkat, dan kualitas hidup pasien pasca-transplantasi bisa lebih baik,” jelasnya dalam diskusi transplantasi ginjal.
Teknologi robotik diharapkan dapat membuka jalan bagi layanan transplantasi yang lebih modern di Indonesia, sekaligus meningkatkan angka keberhasilan dan kualitas hidup pasien.
Ekonom Ingatkan Pemerintah, Minimnya Sosialisasi Kebijakan Bisa Munculkan Resistensi Masyarakat |
![]() |
---|
Stres dan Cemas Berlebihan karena Demo Rusuh, Ini Cara Akses Layanan Konseling Gratis dari Kemenkes |
![]() |
---|
Deteksi Kanker di Indonesia Makin Canggih, Kemenkes Berharap Bisa Gaet Pasien dari Mancanegara |
![]() |
---|
Penjelasan Lengkap Kemenkes Soal Penyebab Kematian Balita di Sukabumi, Bukan Cacingan, Tapi Sepsis |
![]() |
---|
Hingga Agustus 2025, 20 Juta Orang Sudah Ikut Cek Kesehatan Gratis, Ini Temuannya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.