Senin, 29 September 2025

Peneliti Kritisi Kesenjangan Penegakan Hukum di Pakistan Tak Sesuai Realitas

Peneliti hukum dan aplikasi hukum Hasan Ali Wasiq menyoroti kesenjangan antara hukum dalam sistem peradilan Pakistan.

|
Editor: Wahyu Aji
Tangkap layar X
Bendera Pakistan - Di atas kertas, Pakistan disebut menjanjikan. Konstitusinya menjamin hak hidup, martabat, dan kesetaraan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti hukum dan aplikasi hukum Hasan Ali Wasiq menyoroti kesenjangan antara hukum dalam sistem peradilan Pakistan.

Menurutnya, di atas kertas, Pakistan tampak menjanjikan.

Konstitusinya menjamin hak hidup, martabat, dan kesetaraan.

Negara ini juga telah meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang hak asasi manusia, dari ICCPR hingga CEDAW.

Namun, di ruang sidang, janji-janji itu sering kali runtuh.

Dirinya memberikan contoh kasus pembunuhan Qandeel Baloch pada 2016 menjadi simbol betapa hukum bisa dikalahkan oleh budaya dan tekanan sosial.

Meski pelaku mengaku membunuh atas nama kehormatan, dan parlemen telah menetapkan pembunuhan demi kehormatan sebagai pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan, pengadilan tetap membebaskan pelaku setelah keluarga memberi pengampunan.

Hal serupa terjadi dalam kasus pemerkosaan Hotel Marriott Islamabad 2012.

Dua terdakwa dibebaskan setelah korban memaafkan mereka di bawah tekanan.

“Ketika pengadilan mengizinkan penyelesaian dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan demi kehormatan, kita tidak hanya mengingkari keadilan, kita juga melanggar komitmen internasional yang telah kita tandatangani,” ujar Hasan Ali Wasiq, dikutip dari media Pakistan The Express Tribune, Minggu (28/9/2025).

Menurutnya, kompromi dalam pelanggaran berat bukan hanya cacat hukum, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap korban dan supremasi hukum itu sendiri.

Laporan HRCP mencatat 27 kematian dalam tahanan polisi pada September 2023, namun hampir tak ada vonis.

Penelitian NCHR bahkan mengungkap 1.424 kasus penyiksaan di Faisalabad antara 2006–2012, dengan mayoritas penyelidikan berujung 'hampa'.

Namun, norma budaya yang usang dan tekanan politik membuat pengadilan tetap membuka ruang kompromi.

“Kami butuh pelatihan yudisial yang serius dan pemantauan ketat dari Mahkamah Agung agar pengadilan tingkat bawah tidak menyimpang dari hukum,” tegas Wasiq.

Halaman
123

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan