Senin, 6 Oktober 2025

Konflik Palestina Vs Israel

Setengah Juta Warga Israel Turun ke Jalan, Tuntut Perang Gaza Diakhiri dan Gencatan Senjata

Ratusan ribu warga Israel berunjuk rasa secara nasional, menuntut diakhirinya perang Gaza dan pembebasan sandera.

Tangkap layar X/@BarakRavid
DEMO TEL AVIV. Tangkap layar X/@BarakRavid, Senin (18/8/2025), menunjukkan aksi demo yang dihadiri ratusan ribu warga Israel di Tel Aviv. Mereka menuntut diakhirinya perang di Gaza, pemulangan sandera, dan gencatan senjata. 

TRIBUNNEWS.COM - Ratusan ribu warga Israel turun ke jalan menuntut diakhirinya perang di Gaza dan pembebasan tawanan.

Dilaporkan hampir setengah juta orang Israel turun ke jalan untuk berunjuk rasa di Tel Aviv pada malam hari.

Unjuk rasa besar-besaran terjadi pada Minggu (17/8/2025).

Aksi ini berlangsung hanya beberapa hari setelah kabinet keamanan Israel menyetujui rencana operasi militer baru di Kota Gaza.

Perang yang telah berlangsung hampir dua tahun itu telah menghancurkan Gaza, membuat jutaan penduduk terancam kelaparan, dan semakin memperburuk isolasi internasional terhadap Israel.

Al Jazeera melaporkan polisi Israel menembakkan meriam air ke arah pengunjuk rasa dan menangkap puluhan orang.  

Skala demonstrasi ini tercatat sebagai yang terbesar dan paling sengit sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023.

Aktivitas sekolah, transportasi umum, restoran hingga kafe di Israel terhenti, menyusul demonstrasi nasional yang digalang dua kelompok keluarga sandera dan korban.

Sejumlah bisnis dan pemerintah kota di seluruh Israel menghentikan operasional sebagai bentuk solidaritas terhadap aksi unjuk rasa.

Dua teater utama di Tel Aviv juga menunda pertunjukan mereka, sementara di Yerusalem, banyak toko tutup dan warga turun ke jalan mengikuti pawai damai.

Baca juga: Eks Kepala Intelijen: 50 Warga Palestina Wajib Mati untuk Gantikan 1 Orang Israel yang Tewas

"Sudah waktunya mengakhiri perang. Sudah waktunya membebaskan para sandera. Dan sudah waktunya membantu Israel pulih dan bergerak menuju Timur Tengah yang lebih stabil," ujar Doron Wilfand, seorang pemandu wisata berusia 54 tahun, kepada AFP.

Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan kejutan dari Jalur Gaza ke wilayah Israel selatan.

Serangan ini melibatkan tembakan ribuan roket dan masuknya pasukan darat Hamas yang menyusup ke beberapa komunitas dan pangkalan militer Israel.

Serangan tersebut mengakibatkan banyak korban jiwa dan penculikan warga sipil serta tentara Israel.

Sebagai tanggapan, Israel mendeklarasikan perang dan melancarkan operasi militer besar-besaran di Jalur Gaza, yang bertujuan untuk menghancurkan Hamas.

Peristiwa ini memicu konflik bersenjata yang masih berlangsung hingga hari ini.

Surat kabar Israel Haaretz melaporkan bahwa puluhan artis, selebriti, dan atlet Israel menyuarakan dukungan dan bergabung dalam pemogokan.

Sejumlah serikat pekerja besar, termasuk asosiasi pengacara, dokter, forum bisnis, hingga Universitas Ibrani Yerusalem, turut ambil bagian dalam aksi mogok nasional.

Para pengunjuk rasa menyuarakan kekhawatiran bahwa pertempuran lanjutan justru membahayakan sekitar 50 sandera yang diyakini masih ditahan di Gaza—dengan hanya sekitar 20 orang yang diperkirakan masih hidup

 "Kami tidak memenangkan perang di atas tubuh para sandera," teriak mereka dalam aksi.

Arbel Yehoud, mantan tawanan yang ikut berdemo di "Lapangan Penyanderaan" Tel Aviv, menegaskan: "Tekanan militer tidak akan membawa mereka pulang—tekanan itu hanya akan membunuh mereka. Satu-satunya cara adalah melalui kesepakatan, secara menyeluruh, tanpa permainan."

Dalam demonstrasi di Tel Aviv, para aktivis membentangkan bendera Israel raksasa yang dipenuhi wajah para sandera yang masih ditahan di Gaza.

Aksi juga meluas hingga memblokir jalan-jalan utama, termasuk jalan tol Tel Aviv–Yerusalem, di mana pengunjuk rasa membakar ban dan menyebabkan kemacetan total, menurut laporan media lokal.

Forum Sandera dan Keluarga Hilang—kelompok yang mewakili keluarga para tawanan—secara resmi mengumumkan pemogokan nasional sebagai bentuk tekanan terhadap pemerintah.

"Kami akan menutup negara ini hari ini dengan satu seruan yang jelas: Bawa kembali 50 sandera, akhiri perang," kata kelompok itu, berjanji untuk meningkatkan kampanye mereka dengan mendirikan tenda protes di dekat perbatasan Gaza.

“Jika kita tidak membawa mereka kembali sekarang, kita akan kehilangan mereka selamanya,” kelompok itu memperingatkan.

Sejumlah Tokoh Masyarakat Ikut Demo

Baca juga: 7 Negara Kutuk Israel, Kecam Ide Netanyahu Perluas Pemukiman Yahudi di Tepi Barat

Dalam demonstrasi di Tel Aviv, Alon Ohel, paman salah satu sandera berkewarganegaraan ganda Israel-Jerman, menyampaikan seruan emosional kepada publik.

Dirinya menggambarkan kondisi keponakannya yang sangat memprihatinkan: "Ia dirantai, luka parah, hampir kehilangan penglihatan, dan penuh pecahan peluru. Ia sendirian, kelaparan, kepanasan, dan kehabisan napas. Hidupnya dalam bahaya besar — tolong selamatkan dia!"

Pemimpin oposisi Yair Lapid turut hadir dalam aksi dan menyatakan dukungan penuh terhadap pemogokan nasional.

"Hari ini kami menutup negara, karena para sandera bukan pion yang bisa dikorbankan untuk perang. Mereka adalah warga negara yang wajib dipulangkan ke keluarganya oleh pemerintah," ujar Lapid dalam sebuah video yang diunggah di platform X.

Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant turut menyuarakan dukungan terhadap pemulangan para sandera.

"Kita punya kewajiban tertinggi untuk memulangkan semua orang," ujarnya dalam pernyataan yang dimuat harian Yedioth Ahronoth.

"Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan misi ini: memulangkan para sandera terlebih dahulu, lalu melanjutkan upaya menumpas Hamas hingga ke akar."

Sejumlah mantan tawanan Hamas yang dibebaskan saat gencatan senjata musim semi lalu juga turun ke jalan, membawa spanduk bertuliskan: “Bawa mereka pulang sekarang!”

Dukungan publik juga datang dari dunia hiburan. Aktris Hollywood asal Israel, Gal Gadot (40 tahun) mengunjungi "Lapangan Penyanderaan" untuk menemui keluarga para sandera.

Dalam video yang dirilis Forum Hostages and Missing Families, Gadot terlihat menghibur istri salah satu tawanan.

Para pimpinan universitas di Israel turut hadir dalam aksi protes, mendesak pemerintahan Netanyahu agar segera mencapai gencatan senjata dan menyepakati pertukaran tawanan dengan Hamas di Jalur Gaza.

Pada Maret lalu, seluruh rektor universitas dan perguruan tinggi di Israel menandatangani surat terbuka kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

"Kami menegaskan bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan perjanjian dan memulangkan seluruh sandera," kata Daniel Chamovitz, Rektor Universitas Ben-Gurion di Negev, dalam pidatonya.

"Ini bukan tuntutan politik, tapi seruan moral dan suara hati nurani," tambahnya.

Sementara itu, mantan diplomat Israel dan eks Konsul Jenderal di New York, Alon Pinkas, mengecam keras sikap Netanyahu terhadap gelombang protes.

"Kebanyakan perdana menteri akan mengundurkan diri setelah 7 Oktober. Tapi Netanyahu hanya peduli pada kelangsungan kekuasaannya. Ia terdorong oleh delusi Mesianik untuk menggambar ulang Timur Tengah," ujarnya kepada Al Jazeera dari Tel Aviv.

Baca juga: Pendiri World Central Kitchen Kunjungi Jalur Gaza dan Israel

Pinkas juga menuduh Netanyahu sengaja mengalihkan kemarahan publik dengan menyalahkan 'elit' dan 'kelompok rahasia negara' daripada bertanggung jawab atas krisis yang terjadi.

Pemerintah Israel Tanggapi Unjuk Rasa di Tel Aviv

Sikap pemerintah Israel terhadap gelombang protes ini terbelah.

Presiden Isaac Herzog menyatakan dukungan terhadap upaya pembebasan para sandera, namun menyerukan agar tekanan internasional difokuskan kepada Hamas, bukan dengan menghentikan operasi militer.

Sementara itu, sejumlah pejabat senior pemerintahan justru mengecam aksi unjuk rasa.

Menteri Keuangan dari kubu sayap kanan, Bezalel Smotrich, menyebut protes sebagai “kampanye jahat dan berbahaya yang menguntungkan Hamas.”

Menteri Kebudayaan Miki Zohar menambahkan bahwa aksi blokade jalan merupakan “kesalahan serius dan hadiah bagi musuh.”

Di sisi lain, pemimpin oposisi Benny Gantz mengkritik pemerintah karena menyerang keluarga para sandera, padahal merekalah yang selama hampir dua tahun menanggung beban penahanan orang-orang terdekat mereka oleh Hamas.

Kepolisian Israel memperketat pengamanan di berbagai wilayah dan memperingatkan bahwa segala bentuk gangguan terhadap ketertiban umum tidak akan ditoleransi.

Aksi protes juga dilaporkan berlangsung di dekat perbatasan Gaza, termasuk di Be’eri—sebuah kibbutz yang menjadi salah satu lokasi paling terdampak dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Konflik di Jalur Gaza telah memasuki hari ke-680 sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023.

Baca juga: Beredar Foto Sniper Israel Bidik Warga Gaza di Lokasi Pembagian Bantuan

Dikutip dari Middle East Monitor, data terbaru per 17 Agustus 2025 menunjukkan skala kehancuran yang semakin mengkhawatirkan, dengan lebih dari 61.944 orang tewas, 155.886 lainnya terluka, dan sekitar 11.000 orang masih hilang.

Perang yang banyak pihak sebut sebagai genosida terhadap warga sipil Palestina itu telah menyebabkan krisis kemanusiaan besar, di mana sebagian besar infrastruktur hancur, pasokan makanan dan obat-obatan sangat terbatas, serta jutaan penduduk terusir dari tempat tinggalnya.

(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved