Sabtu, 4 Oktober 2025

PHK Massal di Industri Tekstil Sudah Sentuh Level Manajer Menengah

Kasus PHK di industri tekstil di Indonesia sudah menyentuh level tenaga ahli dan manajemen menengah di perusahaan. 

Editor: Choirul Arifin
Tribun Jateng/ Iwan Arifianto
PULANG KERJA - Buruh pabrik di Kawasan Industri Lamicitra Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, menerjang genangan rob, Selasa (21/6/2022). Kasus PHK di industri ini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tapi juga sudah menyentuh level tenaga ahli dan manajemen menengah di perusahaan.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional semakin menjadi-jadi.

Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) mendapati temuan baru bahwa kasus PHK di industri ini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tapi juga sudah menyentuh level tenaga ahli dan manajemen menengah di perusahaan. 

“Anggota kami yang merupakan profesional juga ikut terdampak. Kami tengah menganalisa akar masalah penutupan pabrik melalui masukan dari koordinator wilayah di DKI-Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah-DIY, hingga Jawa Timur,” kata Ketua Umum IKA Tekstil, Riady Madyadinata dikutip Jumat (19/9/2025).

Riady bilang, masalah utama terletak pada sulitnya penjualan produk dalam negeri akibat banjir barang impor, baik legal maupun ilegal.

Harga produk lokal dinilai sulit bersaing karena biaya produksi di Indonesia lebih tinggi sekitar 35 sampai 40 persen dibanding barang impor.

IKA Tekstil juga mencatat sejumlah faktor lain yang menekan daya saing industri, seperti biaya energi, sumber daya manusia, logistik, hingga budaya kerja di internal perusahaan.

Ironisnya, banyak alumni justru berkarier di luar negeri karena industri TPT di negara lain tengah berkembang.

Riady menambahkan, masuknya investasi asing, terutama dari China, belum cukup mampu menahan laju PHK dan penutupan pabrik di dalam negeri.

Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, meminta Kementerian Perindustrian transparan dalam mengumumkan perusahaan penerima kuota impor beserta besarannya. 

“Kalau tidak transparan, kejadian di sektor benang dan kain akan terulang. Data BPS menunjukkan impor benang dan kain terus naik lima tahun terakhir, sementara produsen dalam negeri justru gulung tikar,” katanya.

Baca juga: Industri Tekstil Minta Pemerintah Gerak Cepat Negosiasi Turunkan Tarif Impor Amerika 32 Persen

Nandi mendukung terbitnya Permendag 17/2025 yang mewajibkan importir umum diverifikasi untuk memperoleh kuota impor. Ia menilai aturan ini bisa menjadi peluang bagi industri kecil, terutama konveksi pakaian jadi.

Nandi pun mengusulkan agar kuota impor pakaian jadi dan produk tekstil lainnya (HS 61, 62, dan 63) dibatasi maksimal 50 ribu ton per tahun. 

Baca juga: Viral! Karyawan SPBU Swasta di Ciputat Tangsel Jualan Kopi saat Stok BBM Kosong dan Isu PHK Santer

“Produksi dalam negeri sudah mencapai 2,8 juta ton per tahun, dengan kapasitas ekspor sekitar 500.000 ton dan konsumsi domestik 2 juta ton. Artinya, kapasitas nasional sebetulnya sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri,” pungkasnya.


Laporan Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Sumber: Kontan

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved