Senin, 29 September 2025

Industri Tekstil Terpuruk, Pemerintah Didesak Terapkan Bea Masuk Antidumping Minimal 20 Persen 

pemerintah diminta segera menetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) minimal 20 persen terhadap produk benang filamen impor

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Sanusi
HO
BEA MASUK ANTIDUMPING - Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan praktik dumping oleh produsen luar negeri menciptakan distorsi harga serius di pasar domestik. Dampaknya, produsen dalam negeri kehilangan daya saing, terutama pada segmen benang filamen dan industri polimer. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Industri tekstil nasional kembali berada di ujung tanduk. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mendesak pemerintah untuk segera menetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) minimal 20 persen terhadap produk benang filamen impor, terutama dari Tiongkok

Langkah ini dinilai penting untuk membendung praktik dumping yang telah memukul industri dari sektor hulu hingga hilir.

Baca juga: Kemenperin Ungkap Akar Masalah Tertekannya Industri TPT, Dorong Kebijakan Pengendalian Impor

Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa praktik dumping oleh produsen luar negeri menciptakan distorsi harga serius di pasar domestik. Dampaknya, produsen dalam negeri kehilangan daya saing, terutama pada segmen benang filamen dan industri polimer.

“BMAD sebesar 20 persen adalah titik keseimbangan yang realistis. Angka ini cukup untuk memulihkan industri hulu, tanpa terlalu membebani sektor hilir,” ujar Redma dalam keterangannya, Kamis (12/6/2025).

Menurut Redma, harga normal benang filamen semestinya berada 20 persen di atas harga dumping. Jika tarif BMAD ditetapkan terlalu tinggi, memang produsen hulu bisa memperoleh margin lebih besar, namun risikonya justru membebani pelaku usaha di sektor hilir seperti pemintalan dan konfeksi.

Rekomendasi KADI Dinilai Terlalu Tinggi

Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) sebelumnya merekomendasikan tarif BMAD bervariasi dengan batas atas mencapai 42,3 persen.

Namun, APSyFI menilai angka tersebut perlu dikaji ulang agar tetap menjaga keseimbangan industri nasional secara keseluruhan. “Rekomendasi KADI sampai 42 persen, tapi setelah evaluasi dampak ke sektor hilir, kami usulkan rata-rata cukup di 20 persen,” kata Redma.

Dampak Berantai: Dari Filamen ke Polimer

Redma menjelaskan bahwa masuknya benang filamen impor secara masif telah merebut pangsa pasar benang pintal lokal.

Hal ini berdampak domino, karena industri pemintalan kehilangan pasar dan berhenti menyerap bahan baku dari sektor hulu seperti polimer.

“Impor benang filamen ini memukul industri pemintalan, dan efeknya menjalar ke sektor polimer. Akibatnya, perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF sudah menutup lini produksinya,” jelasnya.

Baca juga: Ekonom Ingatkan Gelombang PHK di Industri Tekstil, Pemerintah Jangan Hanya Kejar Tax Ratio

Saat ini, hanya empat perusahaan yang masih memproduksi polimer di dalam negeri, dan itu pun dalam kapasitas terbatas.

APSyFI berharap kebijakan BMAD 20 persen dapat menjadi stimulus untuk menghidupkan kembali seluruh rantai industri tekstil, mulai dari produksi polimer, benang filamen, pemintalan, hingga produk tekstil jadi.

“Tujuan utama BMAD ini bukan semata menyelamatkan satu sektor, tapi memulihkan ekosistem industri nasional secara menyeluruh,” tegas Redma.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan