Senin, 29 September 2025

PHK Massal

Kriminolog UI Ingatkan PHK Massal Bisa Berdampak Peningkatan Angka Kriminalitas

Meskipun begitu, ia menekankan bahwa faktor ekonomi bukan satu-satunya penyebab seseorang menjadi pelaku kriminal.

|
Penulis: Reynas Abdila
TribunBatam.Id/afs-securitysystems.com
PHK DAN KRIMINALITAS - Ilustrasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan angka kriminalitas. Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Sapto Priyanto, memperingatkan kehilangan pekerjaan dan penghasilan dari PHK massal bisa mendorong seseorang melakukan tindak kejahatan, terutama dengan motif ekonomi.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi sejak awal 2025 dinilai dapat memicu peningkatan angka kriminalitas.

Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Sapto Priyanto, memperingatkan bahwa kehilangan pekerjaan dan penghasilan bisa mendorong seseorang melakukan tindak kejahatan, terutama dengan motif ekonomi.

"Karena ketika seseorang tidak punya pekerjaan dan tidak punya penghasilan, sangat dimungkinkan menjadi pelaku kejahatan atau kriminal umum dengan motif ekonomi," ujar Sapto kepada wartawan, Selasa (3/6/2025).

Ia menyebutkan, tindak kriminal seperti pencurian dan perampokan biasanya bermula dari tekanan ekonomi.

Meskipun begitu, ia menekankan bahwa faktor ekonomi bukan satu-satunya penyebab seseorang menjadi pelaku kriminal.

Menurut Sapto, lingkungan tempat tinggal juga berpengaruh. 

Wilayah perkotaan dengan biaya hidup tinggi memiliki risiko kejahatan yang lebih besar dibanding pedesaan.

"Tapi kalau di perkampungan atau pedesaan, karena mungkin biaya hidup di sana lebih rendah, jadi mereka yang menjadi pengangguran masih bisa bertani, berkebun, atau punya kegiatan lain yang positif sehingga mereka tidak menjadi pelaku kriminal," jelasnya.

Baca juga: Industri Hotel di Jakarta Terancam Badai PHK, Menaker: Ini Harus Kita Lihat sebagai Realita

Ia juga menyinggung keterkaitan PHK dengan potensi tumbuhnya radikalisme. Meski begitu, ia menilai kemiskinan bukan akar utama terorisme di Indonesia.

"Akar masalah terorisme di Indonesia itu bukan masalah ekonomi. Kalau misalnya orang menjadi radikal atau teroris karena faktor ekonomi, berarti hampir semua orang yang katakanlah berpenghasilan rendah atau miskin bisa menjadi teroris. Faktanya kan tidak seperti itu," katanya.

Namun, Sapto tidak menampik bahwa kemiskinan bisa menjadi celah bagi kelompok tertentu dalam menyebarkan paham radikal.

"Kemiskinan saja tidak bisa menyebabkan orang menjadi pelaku teror. Jadi, bukan kemiskinan saja. Artinya, kelompok teroris bisa memanfaatkan orang-orang yang miskin untuk menjadi radikal atau teroris," imbuhnya.

Baca juga: 10 Negara dengan Tingkat Kriminalitas Tertinggi di Dunia

Di sisi lain, Sapto mengapresiasi langkah pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam mencegah ekstremisme melalui berbagai program sinergis lintas kementerian dan lembaga. Apalagi sudah ada Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).

"Yang saya lihat, pencegahan itu yang melakukan bukan hanya pemerintah saja, dalam hal ini BNPT. Tapi juga sudah ada sinergisitas dengan kementerian lainnya dan beberapa LSM yang punya program-program terkait. Artinya, bahwa memang pemerintah sudah melakukan upaya yang optimal dalam mencegah radikalisme," ucap Sapto.

Sebelumnya, Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja melaporkan telah terjadi 70 ribu PHK sejak awal tahun. Sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan angka PHK sepanjang 2025 bisa menyentuh 250 ribu orang.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan