Selasa, 7 Oktober 2025

Blog Tribunners

Benarkah Hamas dan Israel Sungguh-sungguh Akan Berdamai?

Delegasi Hamas dan Israel serta utusan Gedung Putih, Steve Witkoff dan Jared Kushner telah bertemu di Kairo, Mesir.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
SOLIDARITY GAZA - Peserta aksi mengikuti long march Solidarity March with Global March to Gaza di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/6/2025). Aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas untuk gerakan Global March to Gaza yang bertepatan dengan ribuan warga lintas negara yang tengah bersiap memasuki wilayah Gaza untuk memberikan bantuan kepada rakyat Palestina yang mengalami krisis akibat blokade dari Israel. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Terlebih di Sidang Majelis Umum PBB akhir September 2025, negara-negara utama Eropa, seperti Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Portugal, mengakui kemerdekaan Palestina.

Ini menjadi tekanan sangat berat bagi Israel. Jika mereka terus melanjutkan operasi penghancuran Gaza, Israel akan sepenuhnya terisolasi dalam pergaulan internasional.

Ini yang mungkin bisa agak melunakkan sikap Israel, menyusul proposal perdamaian Donald Trump, yang datang dengan tekanan kuat Washington ke Israel.

Netanyahu menerima pengakhiran perang, dan militer Israel kembali ke garis semula sebelum 7 Oktober 2023.

Penarikan pasukan ini tidak mengubah garis perbatasan Gaza dan Israel yang dijaga ketat, dan sekaligus mengisolasi enclave itu dari Tepi Barat maupun ke perbatasan Mesir.

Hamas dan Israel Tak Pernah Menang

Tentu saja, Israel tidak pernah memenangkan perangnya, mengingat kehancuran Gaza memberi citra sangat buruk bagi negara itu.

Sebaliknya, kesediaan Hamas mengikuti proposal Trump, juga bukan berarti kemenangan bagi mereka.

Kematian hampir 70.000 penduduk Palestina di Gaza adalah kerugian tidak ternilai. Hamas harus ikut bertanggungjawab atas semua penderitaan penduduk Gaza.

Tetapi poin bagi Hamas, malapetaka yang dibuat Israel di Gaza, mendatangkan simpati dan dukungan dari mayoritas negara di dunia.

Pada akhirnya, tujuan politik mewujudkan Palestina yang merdeka sepenuhnya, menemukan secercah titik terang.

Apakah lalu akan mudah diwujudkan, tentu saja tidak ada yang menjamin.

Penghentian perang di Gaza dicapai dalam situasi yang sangat rapuh. Ledakan konflik baru bisa terjadi sewaktu-waktu.

Dalam situasi seperti ini, harapan besar digantungkan ke  negara-negara Arab dan dunia Islam, guna memastikan tindakan segera guna melindungi rakyat Palestina.

Adnan Hayajneh, seorang profesor hubungan internasional dan kebijakan luar negeri Amerika di Universitas Qatar, mengatakan Hamas tetap akan menjadi pemain penting.

"Akan ada negosiasi yang panjang, dan Hamas akan ambil bagian di dalamnya," kata Hayajneh kepada Al Jazeera.

Para pemimpin Arab sejak awal menyampaikan keberatan tentang beberapa rencana Trump yang mengikuti skenario Israel.

Terutama terkait tata kelola Gaza dan demiliterisasi Hamas. Ini akan menjadi titik api baru jika tidak ada titik temu.

Otoritas Palestina yang dipimpin Mahmoud Abbas, nyaris tidak terlibat dalam konflik baru Israel di Gaza.

Praktis sejak awal, Israel mengincar dan berusaha menghancurleburkan Hamas dan melumpuhkan kontrol Hamas di wilayah Gaza.

Israel megesampingkan Otoritas Palestina yang mengontrol Tepi Barat di Ramallah, dan menganggapnya bukan ancaman serius.

Gaza menjadi wilayah terpisah dengan Tepi Barat sejak kelompok Hamas memenangkan Pemilu Palestina, dan mereka mendominasi Jalur Gaza.

Hari-hari ini kita semua akan melihat efektifitas proposal Trump, dan apakah Hamas dan Israel bisa konsisten menahan diri.

TRIBUNNERS

Presiden Donald Trump sangat berambisi menghentikan perang Gaza, sekalipun faktanya bom-bom dan senjata buatan industri militer Amerika lah yang turut menghancurkan Gaza.

Konflik Israel-Palestina jika tak terhentikan, akan menjadi duri dalam daging bagi kampanye globalnya untuk menciptakan citra dirinya sebagai juru damai.

Trump mungkin memburu penghargaan tokoh perdamaian Nobel yang batas waktu pengusulannya adalah tanggal 10 Oktober 2025.

Jika tujuan Trump hanya jangka pendek, maka perdamaian Palestina-Israel hanyalah mimpi utopis yang mustahil diwujudkan.

Tetapi modal besar telah diperoleh rakyat Palestina, menyusul pengakuan kekuatan utama barat, yaitu Prancis dan Inggris.

Suka tidak suka, pengakuan kedua negara ini memiliki nilai lebih dibandingkan yang lainnya.

Pahitnya, Amerika sebagai pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB, masih menolak mengakui Palestina.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga) 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved