Tribunners / Citizen Journalism
Membongkar Ekonomi Bawah Tanah di Perbatasan: Dari Ancaman Fiskal ke Peluang Pertumbuhan
Ekonomi bawah tanah di perbatasan NTT–Timor Leste tumbuh pesat, cermin rapuhnya regulasi fiskal dan kebutuhan hidup masyarakat.
Belu dengan simpul Atambua dan Pelabuhan Atapupu menjadi pusat peredaran barang legal maupun ilegal. Sementara itu, Malaka yang berbatasan dengan Covalima sering berfungsi sebagai jalur alternatif distribusi kebutuhan pokok lintas negara.
Mosaik aktivitas ekonomi ini menunjukkan bahwa perbatasan bukan hanya ruang administratif, melainkan arena sosial-ekonomi yang khas, di mana keberlangsungan hidup masyarakat bergantung pada dinamika lintas batas.
Pemerintah pusat sejak era Presiden Joko Widodo berupaya memperkuat kehadiran negara melalui pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang megah, seperti di Wini dan Napan (TTU), Motaain (Belu), serta Motamasin (Malaka). Namun, kemegahan PLBN tidak serta-merta mengatasi persoalan struktural.
Ketimpangan masih lebar karena fasilitas pasar perbatasan dan infrastruktur perdagangan tetap minim. Akibatnya, PLBN lebih tampak sebagai monumen politik dan administratif dibanding instrumen penggerak ekonomi rakyat.
Dari perspektif Institutional Theory, lemahnya kelembagaan dan regulasi justru membuka ruang bagi ekonomi bawah tanah untuk bertumbuh, karena masyarakat mencari alternatif di luar mekanisme formal yang tidak responsif terhadap kebutuhan mereka.
Kesenjangan tersebut semakin tajam bila dikaitkan dengan kondisi sosial-ekonomi makro. Provinsi NTT hingga kini masih mencatat tingkat kemiskinan 19,02 persen, tertinggi ketiga di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat.
Fakta ini mengindikasikan bahwa meskipun terdapat intervensi pembangunan infrastruktur berskala nasional, akar persoalan berupa rendahnya daya dukung ekonomi lokal dan terbatasnya akses masyarakat terhadap pasar formal belum terselesaikan.
Tanpa kebijakan yang menjembatani ketimpangan antara simbol pembangunan negara dan kebutuhan riil masyarakat, ekonomi bawah tanah akan terus berkembang sebagai respons rasional terhadap kelangkaan kesempatan hidup yang layak.
Sayangnya, pendekatan kebijakan selama ini masih bersifat represif dengan menekankan aspek keamanan.
Pengawasan di jalur resmi diperketat, tetapi “jalur tikus” tetap ramai digunakan karena lebih efisien bagi masyarakat. Ketika negara gagal menyediakan sarana perdagangan formal yang memadai, masyarakat justru semakin bergantung pada jaringan informal.
Temuan riset lapangan saya di kawasan TTU–Oecusse (2025) memperlihatkan bahwa aktivitas ekonomi bawah tanah bahkan telah terinstitusionalisasi melalui patronase sosial dan jaringan antar-keluarga lintas negara. Apa yang dianggap ilegal dalam hukum formal justru sah dalam norma sosial masyarakat setempat.
Kondisi ini menegaskan keterbatasan pendekatan hukum semata. Negara bukan hanya kehilangan potensi penerimaan fiskal, tetapi juga gagal memahami logika sosial-ekonomi masyarakat perbatasan.
Jika situasi ini terus dibiarkan, ketergantungan pada ekonomi bayangan akan memperlebar jurang ketimpangan pembangunan antara pusat dan perbatasan, sekaligus melemahkan wibawa negara di mata warganya sendiri. Lebih jauh, hal ini berisiko menimbulkan ketidakstabilan sosial ketika masyarakat merasa negara hadir hanya dalam bentuk penertiban, bukan pemberdayaan.
Perbatasan sebagai Jembatan Pertumbuhan
Strategi pengelolaan perbatasan perlu mengalami pergeseran paradigma: dari border as barrier menuju border as bridge. Perbatasan harus dilihat bukan semata-mata sebagai garis batas yang harus dijaga ketat, melainkan sebagai jembatan interaksi ekonomi yang dapat menguntungkan kedua negara.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Lestari Summit 2025: Indonesia di Lima Besar G20 dengan Kemajuan SDGs Tercepat |
![]() |
---|
Jika Dikelola Serius, Indonesia Berpeluang Masuk 10 Besar Destinasi MICE Dunia |
![]() |
---|
Mantan Dubes Jepang di Indonesia Prediksi Indonesia Masuk Top 5 Negara Besar Dunia pada 2045 |
![]() |
---|
Pesan Prabowo pada Menekraf Teuku Riefky: Ekraf Harus Ciptakan Lapangan Kerja Berkualitas |
![]() |
---|
Pemerintah Diminta Prioritaskan Optimalisasi Ekowisata daripada Ekonomi Ekstraktif |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.