Tribunners / Citizen Journalism
Non Aktif Bukan PAW: Parpol Bermain di Zona Abu-abu
Parpol nonaktifkan sejumlah kader DPR usai kritik publik soal tunjangan, tapi istilah ini dinilai hanya strategi menenangkan massa.
Editor:
Glery Lazuardi
Lucius Karus
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI)
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa partai memutuskan untuk menon-aktifkan beberapa kadernya di DPR RI setelah mencermati dinamika dan perkembangan yang berlangsung saat ini.
PAN menon-aktifkan Eko Gendeo Purnomo dan Surya Utama, Nasdem melakukan hal serupa terhadap Nafa Urbach dan Sahroni, serta Golkar menonaktifkan Adies Kadir.
Keputusan partai-partai itu tentu saja baik sebagai respons atas tuntutan publik yang mengkritik pernyataan dan sikap tidak pantas sejumlah anggota DPR itu terkait tunjangan DPR.
Namun menarik untuk melihat keputusan parpol-parpol itu, yang hampir semuanya menggunakan istilah "menonaktifkan"* kader-kadee dari jabatan sebagai anggota maupun pimpinan di DPR.
Istilah non aktif ini bukan kata yang dipakai UU MD3 untuk menyebutkan alasan yang bisa digunakan DPR untuk memproses penggantian anggota DPR (PAW).
Tiga alasan pemberhentian antar waktu anggota DPR menurut UU MD3 adalah: meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan.
Karena itu sulit memaknai maksud putusan penonaktifan anggota DPR dari 3 fraksi itu.
Tak bisa dibaca sebagai sanksi partai terhadap kader atas kesalahan yang dilakukannya.
Nampaknya partai tak cukup berani untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan kader-kader mereka, yang memicu kemarahan publik.
Pilihan kata non aktif menggambarkan kegamangan parpol untuk memutuskan kader-kader itu tak pantas dipertahankan karena kesalahan yang telah mereka lakukan.
Oleh karena itu, keputusan parpol atas Eko, Sahroni Cs lebih nampak sebagai strategi untuk menenangkan publik sementara waktu sembari melihat perkembangan selanjutnya untuk memastikan sanksi terhadap kader-kader mereka.
Parpol nampak tak merasa kader-kader mereka itu tak cukup alasan untuk diberhentikan sesuai dengan tuntutan sebagian orang belakangan ini.
Ya bisa saja parpol memang perlu memproses masalah kader-kader mereka sebelum menentukan keputusan akhir.
Akan tetapi masalahnya kemudian adalah dengan memakai istilah non aktif, yang berarti bahwa para kader ini masih tetap sebagai anggota DPR, dan karenanya berhak atas hak dan tunjangan sebagai anggota, namun mereka tak perlu bekerja sebagai anggota DPR seperti biasanya.
Ini bisa jadi masalah berikutnya. Ketika partai membuat keputusan yang ragu-ragu dengan menggunakan istilah non aktif, maka tunjangan yang jadi akar masalah munculnya aksi massa, masih akan diterima oleh kader-kader non aktif ini.
Jadinya serba tanggung. Harusnya partai tegas saja sih agar tak ada lagi diskusi setelah ini yang memungkinkan situasi menjadi tidak kondusif lagi. Memang untuk sampai pada ketegasan itu, parpol harus bisa merasakan kesalahan yang dilakukan kader-kader mereka.
Kalau parpol ngga merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kadernya, ya maka istilah non aktif ini bisa jadi hanya berarti jeda waktu untuk menenangkan massa di satu sisi, dan disisi lain untuk mempersiapkan kembalinya kader-kader itu jika publik sudah tenang kembali.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Banyak Penyelesaian Kasus Terhambat, Komisi XIII DPR Tegaskan Bakal Kebut Pembahasan RUU PSDK |
![]() |
---|
600 Ribu Penerima Bansos Terindikasi Main Judol, Mensos: Ada Ngaku Dokter, TNI, hingga DPR |
![]() |
---|
Cegah 21 Juta Suara Rakyat Hangus, Muhammadiyah Usul Sistem Pemilu Moderat ke DPR |
![]() |
---|
Erick Thohir Rangkap Jabatan, Komisi X DPR Ingatkan Menpora Tak Abaikan Cabang Olahraga Lain |
![]() |
---|
Apkasi Plong, Transfer ke Daerah Pada APBN 2025 Bertambah Meski Belum Ideal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.