Tribunners / Citizen Journalism
Sejarah dalam Narasi Otoritarianisme
Upaya meluruskan sejarah ini memicu kontroversi berbagai pihak, karena khawatir ini akan digunakan suatu rezim untuk membengkokkan sejarah
Oleh: Dr Eko Wahyuanto, adalah Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta
TRIBUNNERS - Publik tersentak dengan kabar bahwa pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan sedang menyusun proyek penulisan ulang sejarah Republik Indonesia, yang akan dirilis pada 17 Agustus 2025.
Proyek ini melibatkan lebih 120 sejarawan, arkeolog, dan akademisi lintas disiplin ilmu dari berbagai universitas dan lembaga penelitian di bawah "conductor" Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Prof. Dr. Susanto Zuhdi.
Tujuannya untuk meningkatkan pemahaman sejarah Indonesia, dengan "aksentuasi" narasi lebih lengkap dan akurat.
Beberapa aspek sejarah ditinjau ulang, seperti periode penjajahan Belanda di Indonesia yang sering disebut 350 tahun, yang diklaim sebagai tidak akurat, peristiwa pembantaian tahun 1965 (G30S PKI) dan peristiwa Madiun 1948, dan sejumlah catatan pelanggaran HAM lain.
Upaya meluruskan sejarah ini memicu kontroversi berbagai pihak, karena khawatir ini akan digunakan suatu rezim untuk membengkokkan sejarah, dan mengaburkan peristiwa "sensitif" dalam sejarah Indonesia
Kajian Komunikasi Politik
Dalam kajian komunikasi politik dan sejarah sosial, narasi bukan sekadar cerita, ia bisa jadi instrumen kekuasaan. Siapa yang menguasai narasi, maka berpotensi menguasai dan mengubah sejarah dari memori kolektif bangsa.
Dalam konteks ini, rencana baik pemerintah menulis ulang “sejarah resmi Indonesia” oleh negara, harus "diucapkan" sebagai persoalan serius—baik secara epistemologis maupun sosiologis.
Sejarah memang memerlukan pembaruan, namun, ketika proses itu tidak boleh diarahkan oleh struktur kekuasaan tanpa keterlibatan publik yang memadai. Jika demikian maka kita sedang menyaksikan bukan sekadar pembaharuan buku sejarah, tetapi juga repolitisasi memori nasional.
Baca juga: Sejarah Hari Buku Nasional, Diperingati Setiap 17 Mei
Sejarah dan Logika Demokrasi
Dalam logika demokrasi, sejarah merupakan arena pertarungan wacana (discourse arena), bukan dokumen tunggal negara.
Maka sejarah tidak boleh dimonopoli sebagai “versi resmi,” yang hanya diinisiasi oleh pemerintah. Agar tidak menyerupai "doktrin" dalam model komunikasi satu arah.
Maka pantas jika Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), sebuah wadah yang berisi sejarawan, aktivis HAM, hingga akademisi, menyampaikan kritik keras terhadap proyek tersebut.
Ini bukan soal emosional, tetapi gerakan moral bahwa sejarah tidak boleh manipulasi untuk alasan apapun. Bahwa sejarah ditulis bukan untuk legitimasi kekuasaan, melainkan untuk mengungkap kompleksitas dan pembelajaran masa lalu bagi generasi sekarang dan masa datang.
Mengutip Asvi Warman Adam, “sejarah bukanlah monumen tunggal.”
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sejarah Hari Literasi Internasional 8 September dan Tema Peringatan Tahun 2025 |
![]() |
---|
Tanggal Merah 5 September Memperingati Libur Apa? Ini Sejarah Singkatnya |
![]() |
---|
Keutamaan dan Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW, Lengkap dengan Sejarahnya |
![]() |
---|
Hari Pelanggan Nasional Diperingati 4 September 2025, Berikut Sejarah dan Kumpulan Ucapannya |
![]() |
---|
20 Link Twibbon Hari Polwan 2025 atau HUT ke-77 Polwan, Simak Sejarah dan Cara Unggah di Sosmed |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.