Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Sejarah dalam Narasi Otoritarianisme 

Upaya meluruskan sejarah ini memicu kontroversi berbagai pihak, karena khawatir ini akan digunakan suatu rezim untuk membengkokkan sejarah

Editor: Eko Sutriyanto
dok pribadi
PENULISAN ULANG SEJARAH - Dr Eko Wahyuanto, adalah Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta. Sejarah bukanlah soal kebanggaan semata, ia medium sakral untuk belajar, ruang luka, dan ruang harapan. Jika kita ingin membangun bangsa beradab, maka kita harus berani menuliskan sejarah dengan jujur, sekalipun itu pahit 

Oleh:  Dr Eko Wahyuanto, adalah Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta

TRIBUNNERS - Publik tersentak dengan kabar bahwa pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan sedang menyusun proyek penulisan ulang sejarah Republik Indonesia, yang akan dirilis pada 17 Agustus 2025.

Proyek ini melibatkan lebih 120 sejarawan, arkeolog, dan akademisi lintas disiplin ilmu dari berbagai universitas dan lembaga penelitian di bawah "conductor" Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Prof. Dr. Susanto Zuhdi.

Tujuannya untuk meningkatkan pemahaman sejarah Indonesia, dengan "aksentuasi" narasi lebih lengkap dan akurat. 

Beberapa aspek sejarah ditinjau ulang, seperti periode penjajahan Belanda di Indonesia yang sering disebut 350 tahun, yang diklaim sebagai tidak akurat, peristiwa pembantaian tahun 1965 (G30S PKI) dan peristiwa Madiun 1948, dan sejumlah catatan pelanggaran HAM lain.

Upaya meluruskan sejarah ini memicu kontroversi berbagai pihak, karena khawatir ini akan digunakan suatu rezim untuk membengkokkan sejarah, dan mengaburkan peristiwa "sensitif" dalam sejarah Indonesia

Kajian Komunikasi Politik

Dalam kajian komunikasi politik dan sejarah sosial, narasi bukan sekadar cerita, ia bisa jadi instrumen kekuasaan. Siapa yang menguasai narasi, maka berpotensi menguasai dan mengubah sejarah dari memori kolektif bangsa.

Dalam konteks ini, rencana baik pemerintah menulis ulang “sejarah resmi Indonesia” oleh negara, harus "diucapkan" sebagai persoalan serius—baik secara epistemologis maupun sosiologis.

Sejarah memang memerlukan pembaruan, namun, ketika proses itu tidak boleh diarahkan oleh struktur kekuasaan tanpa keterlibatan publik yang memadai. Jika demikian maka kita sedang menyaksikan bukan sekadar pembaharuan buku sejarah, tetapi juga repolitisasi memori nasional.

Baca juga: Sejarah Hari Buku Nasional, Diperingati Setiap 17 Mei

Sejarah dan Logika Demokrasi

Dalam logika demokrasi, sejarah merupakan arena pertarungan wacana (discourse arena), bukan dokumen tunggal negara.

Maka sejarah tidak boleh dimonopoli sebagai “versi resmi,” yang hanya diinisiasi oleh pemerintah. Agar tidak menyerupai "doktrin" dalam model komunikasi satu arah.

Maka pantas jika Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), sebuah wadah yang berisi sejarawan, aktivis HAM, hingga akademisi, menyampaikan kritik keras terhadap proyek tersebut.

Ini bukan soal emosional, tetapi gerakan moral bahwa sejarah tidak boleh manipulasi untuk alasan apapun. Bahwa sejarah ditulis bukan untuk legitimasi kekuasaan, melainkan untuk mengungkap kompleksitas dan pembelajaran masa lalu bagi generasi sekarang dan masa datang.

Mengutip Asvi Warman Adam, “sejarah bukanlah monumen tunggal.”

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved