Senin, 29 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

‘Indonesia First’ Penyelamat Guncangan Ekonomi Dunia

Ketika kebijakan tarif Donald Trump mengguncang dunia, apa yang perlu Indonesia lakukan?

Editor: Hasanudin Aco
Harian Warta Kota/Henry Lopulalan
INDONESIA FIRST - Irman Gusman, Ketua DPD RI 2009-2016, bicara soal penyelamatan ekonomi nasional di tengah perang dagang global. /Foto. dok. 

Sejak itu Menlu Gareth Evans berkunjung ke berbagai negara bukan hanya untuk urusan diplomasi, tetapi juga secara aktif mempromosikan dan membuka pasar untuk barang-barang produksi dalam negerinya. Strategi itu kini dilanjutkan oleh Menlu Australia Penny Wong.

Sebetulnya sejak dulu Indonesia sudah mempunyai kebijakan untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri dan memperbesar serapan pasar untuk berbagai barang produksi kita sendiri.

Tapi masalahnya adalah kita gagal meneruskan strategi tersebut.

Sebab, the devil is in the details.

Bahkan, kata Jacob Oetama (alm), “Orang Indonesia itu kalau sudah membuat rencana, disangkanya bahwa rencana itu sudah tercapai.”

Untuk meningkatkan kualitas dan membenahi rantai pasok produk-produk dalam negeri, mengurangi biaya logistik, serta memperluas pasar produk ekspor, kita dapat menamakan Kementerian Perdagangan sebagai Kementerian Perdagangan Dalam Negeri -- dalam rangka Indonesia First -- dan memperluas lingkup tugas Kementerian Luar Negeri menjadi Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Internasional.

Dengan demikian maka jumlah penduduk yang hampir mencapai 300 juta jiwa itu berkembang menjadi pasar yang kuat dan mampu bertahan terhadap guncangan eksternal, sementara pembenahan rantai pasok dan pengurangan biaya logistik akan meningkatkan daya saing berbagai produk dalam negeri untuk bersaing di pasar dunia.

 Apalagi jika para diplomat kita menjadi entrepreneurial diplomats.
 
Berdikari secara ekonomi berarti kembali memprioritaskan implementasi Pasal 33 konstitusi agar perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, bukan hanya untuk menciptakan kemakmuran bagi kelompok terkecil masyarakat dan stagnasi bagi mayoritas penduduk di lapisan bawah piramida sosial-ekonomi, seperti yang kini terjadi.

Hal itu membutuhkan pemberdayaan koperasi dan UMKM yang jumlahnya sekitar 65 juta unit dan yang berkontribusi besar baik terhadap PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja.

Keberpihakan dimaksud harus bisa menjadikan UMKM dan koperasi sebagai unit-unit usaha yang mandiri, bankable dan berskala besar, agar dapat bertahan di tengah pasar bebas dunia.

Diperlukan banyak entrepreneur yang dapat menghasilkan nilai tambah bagi semua produk yang bersaing di pasar bebas dunia.

Pendidikan kewirausahaan perlu diperluas ke semua sekolah dan perguruan tinggi untuk menghasilkan banyak entreprenur yang mampu menciptakan nilai tambah, agar kita tidak menjadi negara birokrasi saja, sebab rakyat pun perlu dilatih menjadi entrepreneur agar bisa mandiri di tengah tekanan persaingan dunia.

Indonesia menempati peringkat ke-75 dalam Global Entrepreneurship Index (GEI), artinya kita masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Rasio kewirausahaan Indonesia masih rendah, sekitar 3,18 persen hingga 3,47%, dan pemerintah menargetkan peningkatan rasio ini menjadi 4% pada tahun 2024-2025 sebagai syarat untuk menjadi negara maju. 

Barang-barang kebutuhan sehari-hari pun semakin mahal di pasar dalam negeri karena supply chain tidak dikelola dengan baik, sementara biaya logistik masih tinggi (14,29?ri PDB), jauh di atas biaya logistik negara-negara maju yang hanya 8-10%.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan