Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Kasus Suap Ekspor CPO

Eksistensi Suap Hakim, Mafia Hukum dan Peradilan: Penyakit Kronik dan Upaya Penanggulangannya

Fenomena suap pada sistem peradilan ini sudah sejak lama terjadi dan masih terjadi hingga saat ini.

Editor: Hasanudin Aco
Tangkapan Layar YouTube Komisi III DPR RI
KASUS HAKIM - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta menyikapi soal kasus suap yang menimpa para hakim akhir-akhir ini. 

Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi. Seluruh tahap seolah memiliki “Tariff” tersendiri.

Saya meyakini bahwa hal itu bukanlah bualan semata. Dalam praktek di lapangan, banyak modus-modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan ini.

Oleh sebab itu, kita tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut. 

Tidak berhenti disitu, kajian ilmiah dan akademis juga terus dilakukan untuk menjawab dan mencegah permasalahan ini dari sudut pandang penegakan hukum dan etik, ketatanegaraan, pengawasan, atau hingga sistem hukum yang telah berjalan saat ini.

Oleh sebab itu, nampaknya menarik untuk menganalisis akar masalah atau modus operandi, dampak, serta langkah-langkah strategis untuk memberantas mafia hukum dan peradilan.

Persoalan Suap Hakim dan Mafia Peradilan

Permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukanlah hal baru karena pasti terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal ini bisa teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan.

Pertama adalah budaya korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.

Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan.

Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya “gesture” belaka atau untuk meredam amarah publik. 

Yang kedua adalah sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem pembunaabn karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh.

Koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut. Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “Koneksi”. 

Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan karena pada akhirnya tetap yang bisa menjaga keseimbangan dengan “penguasa yang sudah ada”. Hal ini seperti lingkaran setan.

Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.

Krisis ekonomi mempengaruhi dan beban kerja terutama di wilayah yang sangat sulit, membuat para hakim dan aparat kemudian berusaha untuk pindah ke pusat atau daerah-daerah kota yang bagus.

Halaman
1234

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved