Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Masa Depan Bawaslu dalam Demokrasi Digital

Bawaslu hadapi tantangan baru: mengawasi kampanye digital, disinformasi, dan ujaran kebencian di era demokrasi siber.

Editor: Glery Lazuardi
ISTIMEWA
BENNY SABDO - Era digital mengubah wajah demokrasi. Bawaslu dituntut adaptif mengawasi kontestasi politik di ruang siber yang dinamis. 

Benny Sabdo  

  • Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi DKI Jakarta
  • Anggota Asosiasi Studi Sosio-Legal Indonesia 

Peran dan Kiprah

Jabatan

Anggota Bawaslu DKI Jakarta, sebelumnya juga pernah menjadi Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara.

Divisi

Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, bertugas memastikan tahapan pemilu berjalan sesuai regulasi dan menangani pelanggaran pemilu.

Aktivitas

Aktif dalam pengawasan partisipatif dan penegakan hukum pemilu melalui Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu)

TRIBUNNEWS.COM - “Era digital telah mentransformasi lanskap politik global secara fundamental. Indonesia menjadi salah satu populasi pengguna media sosial terbesar di dunia. Platform digital menjadi arena utama kontestasi politik.” 

Bulan lalu saya membaca buku bertajuk “Pasukan Siber: Operasi Pengaruh dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”. Buku ini hasil riset Associate Professor Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro, Wijayanto. Riset ini awalnya dimulai dari Indonesia, kemudian dikembangkan di dua negara, yakni Thailand dan Filipina. Ia berkolaborasi dengan akademikus lintas negara baik dari Asia, Australia hingga Belanda. Sebelumnya, saya sempat diwawancara secara khusus oleh LP3ES dan UNDIP terkait riset tentang pengaturan regulasi media sosial dalam pemilu di Jakarta. 

 Pada kesempatan ini saya ingin membagikan pemikiran tentang isu demokrasi digital relevansinya dengan regulasi pemilu. Pada intinya, media sosial seperti Facebook, X, Instagram, TikTok dan YouTube kini menjadi medan pertempuran gagasan, mobilisasi massa, dan pembentukan opini publik yang sangat vital dalam setiap perhelatan pemilu. Namun, di balik potensinya untuk memperluas partisipasi dan diskursus publik, tersembunyi sisi gelap yang mengancam integritas demokrasi. Ruang digital dipenuhi oleh disinformasi, kampanye hitam, ujaran kebencian, dan politik identitas yang menyebar dengan kecepatan kilat, menciptakan polarisasi tajam, dan mendegradasi kualitas demokrasi. 

Di tengah turbulensi digital ini, Bawaslu berdiri sebagai garda terdepan penjaga keadilan pemilu. Sebagai lembaga yang diamanatkan undang-undang untuk mengawasi setiap tahapan pemilu, Bawaslu kini dihadapkan pada sebuah tantangan kolosal yang belum pernah ada sebelumnya; bagaimana mengawasi ruang siber yang tak terbatas, dinamis dan sering kali anonim? Tugas ini jauh lebih kompleks daripada sekadar mengawasi spanduk atau kampanye tatap muka. Pengawasan media sosial menuntut Bawaslu untuk tidak hanya memahami seluk-beluk hukum pemilu, tetapi juga menguasai teknologi dan memahami sosiologi masyarakat digital.

Untuk memahami urgensi peran Bawaslu, kita harus terlebih dahulu memetakan karakteristik lanskap digital pemilu di Indonesia. Dengan lebih dari 200 juta pengguna internet dan penetrasi media sosial yang masif, platform digital telah menjadi alat kampanye yang tak terhindarkan. Para kontestan pemilu, mulai dari calon presiden hingga calon legislatif di tingkat kabupaten/kota, memanfaatkan media sosial untuk berbagai tujuan; membangun citra diri, menyebarkan visi dan misi, berinteraksi langsung dengan konstituen, hingga menggalang dukungan. Kampanye digital menawarkan efisiensi biaya dan jangkauan yang luas, mampu menembus batas-batas geografis dan demografis yang sulit dicapai oleh metode kampanye konvensional.

Namun, efektivitas media sosial juga dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang merusak. Sejak pemilu 2014 dan semakin intensif pada pemilu 2019 dan 2024, ruang digital Indonesia dibanjiri oleh konten-konten negatif. Fenomena buzzer (pendengung politik) yang beroperasi secara terorganisasi menjadi aktor utama dalam menyebarkan disinformasi, hoaks, dan kampanye hitam yang menyerang lawan politik. Mereka mengeksploitasi algoritma platform yang cenderung memprioritaskan konten sensasional dan emosional. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap proses pemilu, institusi negara, dan bahkan media arus utama terkikis, dan polarisasi sosial pun semakin menajam.

Dalam menghadapi realitas digital yang kompleks ini, Bawaslu tidak beroperasi di ruang hampa hukum. Terdapat beberapa instrumen yuridis yang menjadi dasar kewenangannya. Landasan utamanya adalah UU Pemilu. Meskipun UU Pemilu ini tidak secara ekstensif mengatur kampanye digital, beberapa pasalnya dapat ditafsirkan untuk mencakup pelanggaran di media sosial, terutama terkait larangan kampanye yang menghina seseorang, menghasut, mengadu domba, serta menggunakan kekerasan atau ancaman. Sifat media sosial itu sendiri menjadi tantangan utama. Volume konten yang diproduksi setiap detik sangatlah masif, mustahil untuk dipantau secara manual. Selain itu, penyebaran hoaks melalui aplikasi pesan terenkripsi seperti WhatsApp Group menjadi ruang gelap yang sulit ditembus oleh pengawasan Bawaslu.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved