Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Saatnya Membentuk Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria

Ada sejumlah alasan mengapa perlu membentuk Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria untuk menangani problem pertanahan di Indonesia.

Editor: Sri Juliati
freepik.com/pvproductions
ILUSTRASI - Foto ilustrasi mengenai lahan yang diambil dari situs Freepik.com, Kamis (27/3/2025). Ada sejumlah alasan mengapa pemerintah perlu membentuk Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria untuk menangani problem pertanahan di Indonesia. 

Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

TRIBUNNEWS.COM - Apa yang dikhawatirkan oleh penulis dalam berbagai tulisan akademis maupun esai populer tentang problem pertanahan di Indonesia terjadi.

Modus operandi perihal berbagai kejahatan dalam persoalan kepemilikan tanah pun akhirnya terkuak. Terkuak dengan gamblang dan terang bahkan cenderung menggelikan.

Terhitung sampai hari ini, beberapa aparatur Badan Pertanahan Nasional (BPN) ditangkap dan ditetapkan oleh Polri sebagai tersangka.

Hal ini perlu menjadi perhatian khusus Kementerian ATR/BPN. Sebab soal tanah, bagi manusia, adalah soal hidup dan mati.

Manusia diciptakan dari tanah, untuk hidup perlu tanah, menjalani hari-hari di atas tanah, hingga wafat pun berada di pangkuan tanah.

Beberapa masyarakat adat di Indonesia pun, jika ingin dikaitkan dengan adat ketimuran, memiliki keyakinan serupa perihal tanah.

Problem Pendaftaran Tanah

Problem pertanahan rata-rata terjadi pada proses pendaftaran tanah, baik pertama kali maupun pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Adanya sengketa akibat dualisme kepemilikan, adanya perbedaan persepsi masyarakat terkait "kepemilikan tanah", dan munculnya sertifikat tanpa ada pendahuluan yang cukup terkait kepemilikan tanah, adalah hal-hal yang biasa muncul dalam proses pendaftaran tanah. 

Untuk problem yang begitu kompleks dalam pendaftaran tanah, sejauh ini Kementerian BPN/ATR tidak memiliki mekanisme penyelesaian yang cukup. Mekanisme tersebut sejauh pengetahuan penulis lengkapnya diatur dalam Permen Agraria/BPN 9/1999.
 
Setiap ada permasalahan karena pendaftaran tanah (cacat administrasi), maka para pihak atau pejabat yang berwenang tanpa perlu permohonan, dapat mengajukan pembatalan penerbitan sertifikat.

Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud adalah kesalahan prosedur, kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, kesalahan subjek hak, kesalahan objek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas, terdapat tumpang tindih hak atas tanah, data yuridis atau data data fisik tidak benar, atau kesalahan lainnya yang bersifat administratif.

Baca juga: Soal Sengketa Tanah, Keluarga Mat Solar Putuskan Damai hingga Beri Bagian untuk H Idris

Perlunya Kewenangan Quasi Yudisial

Sejauh ini, model penyelesaian permasalahan tanah yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN, terkait cacat administrasi, terkesan monoton.

Monoton hanya sebatas mencocokan kronologi riwayat tanah dan data yang mendukung kronologi tersebut. Para pihak yang bersengketa pun tidak dihadirkan laiknya pemberian kesaksian di pengadilan.

Akibatnya untuk hal-hal yang substansial seperti sengketa kepemilikan tanah maka penyelesaian tersebut dilakukan di PTUN dan Pengadilan Negeri.

Permasalahan pokoknya adalah ketika cacat administratif itu harus diselesaikan di PTUN maupun Pengadilan Negeri, maka arah penyelesaian sengketanya kemudian berubah menjadi formalistik. PTUN maupun Pengadilan Negeri hanya melihat sebatas kesesuaian data fisik dan data yuridis.

Halaman
12
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved