Kamis, 2 Oktober 2025

Hakim Konstitusi Saldi Isra Sindir Kuasa Hukum Hasto: Kalau Cerdas Tidak Perlu ke MK, Tapi DPR

Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai permohonan Hasto Kristiyanto terkait Pasal 21 UU Tipikor seharusnya tidak perlu diajukan ke MK

Editor: Adi Suhendi
Dokumentasi Tim Humas MK/Teguh
SALDI ISRA - Hakim Konstitusi Saldi Isra saat memimpin sidang di gedung MK, Jakarta pada Selasa (28/5/2024). Ia menilai permohonan Hasto Kristiyanto terkait Pasal 21 UU Tipikor seharusnya tidak perlu diajukan ke MK 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai permohonan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto terkait Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) seharusnya tidak perlu diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Saldi menyebut, DPR sebagai pihak pemberi keterangan justru sejalan dengan permohonan Hasto yang meminta pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional.

Menurut Saldi, situasi ini seharusnya dimanfaatkan kuasa hukum Hasto untuk mendorong perubahan langsung di DPR, alih-alih melalui jalur pengujian di MK.

“Sebetulnya kalau kuasa hukum pemohon cerdas, sudah saatnya ini datang ke DPR biar DPR saja yang mengubahnya, tidak perlu melalui Mahkamah Konstitusi. Biar komprehensif sekalian,” kata Saldi dalam sidang perkara 136/PUU-XXIII/2025 di MK, Rabu (1/10/2025).

Saldi juga mengatakan, ada anomali yang terjadi dalam gugatan Hasto karena DPR selaku pembentuk undang-undang biasanya tidak suka produk hukumnya diubah melalui gugatan ke MK.

Baca juga: MK Lanjutkan Sidang Uji UU Tipikor yang Dimohonkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

"Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan (dari DPR) yang setuju dengan permohonan pemohon," ucap Saldi Isra

Karena itu, Saldi Isra meminta agar DPR segera memberikan keterangan tertulis dari keterangan yang dibacakan pada persidangan tersebut. 

Hal ini termasuk permintaan agar permohonan terkait pengurangan ancaman maksimal obstruction of justice (perintangan penyidikan) dalam kasus korupsi bisa diterima MK.

"Supaya keterangannya segera dikirim karena kami akan baca, paling tidak mau membandingkan keterangan DPR yang lalu dengan pasal yang sama," imbuh Saldi.

Dalam sidang, anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta menyatakan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945.

Baca juga: DPR Kritik Pasal UU Tipikor yang Jerat Hasto: Multitafsir, Bisa Dipakai Sesuai Kepentingan

I Wayan Sudirta merupakan politikus PDIP dari daerah Pemilihan Bali yang meliputi Kabupaten Badung, Kabupaten  Bangli, Kabupaten  Buleleng,  Kabupaten Gianyar, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar.

Ia menilai pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor hanya dapat diberlakukan jika dimaknai sebagai tindakan sengaja dan melawan hukum dalam mencegah atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan perkara korupsi melalui cara-cara seperti ancaman, intimidasi, intervensi, atau janji keuntungan.

Bunyi pasal 21, UU 31 Tahun 1999 tentang Tipikor berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

“Kami mohon agar majelis hakim MK RI berkenan kiranya memutuskan sebagai berikut, menyatakan bahwa Pasal 21 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor bertentangan dengan UUD 1945,” kata Wayan.

Adapun Hasto dalam permohonannya meminta MK mengubah ketentuan ancaman pidana Pasal 21 dari 3-12 tahun penjara menjadi maksimal 3 tahun.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved