Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Seruan Pemimpin Lintas Agama Agar Masyarakat Tenang dan Tidak Terprovokasi, Ajak Jaga Perdamaian
Enam organisasi keagamaan telah mengeluarkan pernyataan bersama untuk mendorong masyarakat menjaga ketenangan dan menghindari provokasi
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah suasana tegang pasca-kerusuhan yang melanda ibu kota Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia, enam organisasi keagamaan telah mengeluarkan pernyataan bersama untuk mendorong masyarakat menjaga ketenangan dan menghindari provokasi.
Langkah ini muncul sebagai respons atas insiden unjuk rasa yang masih berlangsung sejak 25 Agustus 2025 hingga Minggu (31/8/2025) dini hari.
Demo yang ricuh di beberapa daerah terjadi akibat kematian seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polri dan memicu gelombang protes nasional.
Awal mula peristiwa dimulai dari aksi demonstrasi 25 Agustus 2025 menolak gaji dan tunjangan anggota DPR, lalu demo 28 Agustus 2025 tuntutan hak buruh, dan demo 29 Agustus 2025 bergeser ke tuntutan keadilan atas Affan dengan elemen reformasi Polri.
Para pemimpin keagamaan menyampaikan belasungkawa mendalam atas kepergian Affan dan mendoakan kekuatan bagi keluarganya.
Pernyataan ini ditandatangani oleh tokoh-tokoh berpengaruh dari berbagai agama, termasuk KH. Muhammad Faiz Syukron Makmun, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta—organisasi ulama Islam yang berperan sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan dan sosial di masyarakat Muslim; KH. Achmad Abubakar dari Muhammadiyah DKI, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang fokus pada pendidikan, kesehatan, dan dakwah modern; Pendeta Ariyanus Larosa dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW), yang mewakili komunitas Kristen Protestan dan mempromosikan dialog antaragama.

Kemudian I Nengah Darma dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), badan pusat umat Hindu yang mengawasi praktik keagamaan dan budaya Hindu di tanah air; Mulyadi dari Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), organisasi yang menyatukan komunitas Buddha untuk memperkuat harmoni sosial; serta Ws. Liem Liliany Lontoh dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), yang membina umat Konghucu dalam etika dan filsafat Konfusianisme.
Mereka menekankan pentingnya menahan diri dari tindakan anarkis, mengingatkan bahwa penyampaian aspirasi harus dilakukan dengan cara yang damai dan sesuai ajaran agama masing-masing.
"Setiap bentuk kekerasan hanya akan merusak nilai-nilai persaudaraan dan kedamaian yang menjadi dasar kehidupan beragama," demikian isi pernyataan tersebut.
Para tokoh ini juga mendesak pemerintah untuk memanfaatkan momentum ini guna membangun kembali kepercayaan publik melalui kebijakan yang adil, seperti peningkatan pelayanan publik dan penegakan hukum yang transparan.
Senada dengan itu, Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Dewan Pimpinan Pusat MUI, seorang tokoh yang sering menjadi juru bicara isu sosial keagamaan, menyerukan penghentian demonstrasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan.
Baca juga: BREAKING NEWS: Presiden Prabowo Panggil Semua Ketua Umum Parpol ke Istana Negara
Ia menegaskan bahwa hak berdemonstrasi dijamin konstitusi, tetapi ketika aksi tersebut mengganggu ketertiban umum dan merugikan masyarakat bawah yang bergantung pada aktivitas harian untuk mencari nafkah, maka perlu dievaluasi.
"Kita harus prioritaskan kesejahteraan bersama, terutama bagi kelompok rentan yang terdampak secara ekonomi," ujarnya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 60 persen pekerja di Indonesia berada di sektor informal seperti ojek online dan pedagang kaki lima, yang rentan terhadap gangguan seperti kerusuhan.
Pernyataan ini diharapkan dapat meredakan tensi sosial, di mana hingga 30 Agustus 2025, aksi protes telah menyebabkan kerugian ekonomi mencapai miliaran rupiah akibat kerusakan infrastruktur dan penghentian aktivitas bisnis di Jakarta.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.