Jumat, 3 Oktober 2025

AI Jadi Tempat Curhat Anak, Ada Bahaya Mengintai di Balik Kebiasaan Itu

Perangkat AI seperti ChatGPT mampu merespons layaknya manusia. Anak-anak bisa ajukan pertanyaan, bahkan curhat.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Pexels
AI PALING CERDAS - Ilustrasi ChatGPT yang diunduh dari Pexels pada 10 Juni 2025. Berikut adalah model AI paling cerdas berdasarkan tes IQ, ada yang skornya melebihi rata-rata IQ manusia. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Seiring perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bukan lagi sekadar topik diskusi di kalangan ilmuwan dan pekerja digital. 

Perangkat seperti ChatGPT yang mampu merespons layaknya manusia, kini juga sudah “bersahabat” dengan anak-anak. 

Mereka bisa mengajukan pertanyaan, mencurahkan isi hati, bahkan berdiskusi tentang masalah pribadi, semuanya tanpa tatap muka dengan manusia.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar. Apakah akses anak pada AI berdampak pada tumbuh kembang mental mereka?

Psikolog pendidikan Ulfa Nurida menilai perkembangan ini patut diwaspadai. 

Baca juga: Anwar Ibrahim Wajibkan Guru Pondok Pesantren di Malaysia Kuasai AI

"Sebenarnya memang ini cukup concerning ya, atau mengkhawatirkan," ujarnya saat diwawancarai Tribunnews di Jakarta Selatan, Senin (11/8/2025).

Menurutnya, anak-anak berada pada tahap perkembangan kognitif yang masih sangat konkret. 

Mereka belum memiliki kemampuan penuh untuk berpikir abstrak, apalagi menimbang konsekuensi jangka panjang dari suatu tindakan. 

Dalam dunia nyata, proses belajar ini biasanya dibimbing oleh interaksi langsung dengan orang dewasa.

Namun, ketika AI menjadi “teman curhat” utama, risiko terbesarnya adalah anak kehilangan kemampuan membedakan antara realitas dan dunia maya. 

“Kalau dia akhirnya terlalu terjun terlalu dalam ke hal-hal yang seperti itu, mereka kan semakin enggak bisa membedakan mana yang nyata, mana yang enggak,” jelas Ulfa.

Hambatan Sosial dan Daya Lenting yang Menurun

Bukan hanya soal persepsi realitas, keterampilan sosial anak juga berpotensi terganggu. 

Ulfa mengingatkan, sejak pandemi, interaksi tatap muka anak sudah berkurang drastis. 

Kini, dengan hadirnya AI yang lebih mudah diakses, anak semakin nyaman berkomunikasi secara virtual.

Akibatnya, mereka kesulitan membangun relasi sosial yang sehat. 

Mulai dari kemampuan menjaga kontak mata, mengungkapkan perasaan, hingga menyelesaikan konflik. 

Padahal, menurut Ulfa, keterampilan ini sangat krusial untuk membangun daya lenting (resiliensi) anak dalam menghadapi masalah di kemudian hari.

“Ketika mereka menghadapi suatu konflik, tapi karena mereka gak terbiasa untuk menghadapi itu. Akhirnya jatuhnya daya lentingnya turun,” tutur Ulfa.

AI yang Tidak Menghakimi

Lantas, mengapa anak bisa lebih nyaman bercerita pada AI ketimbang orang tua? Ulfa menilai alasannya sederhana namun mendalam, yaitu respons AI dianggap tidak menghakimi.

“Respons-respons yang muncul dari AI itu jadinya memberikan kesan atau suasana yang gak judgmental, gak reaktif, yang mungkin di beberapa situasi pada anak, itu yang seringkali mereka temukan di kehidupan sehari-harinya,” jelasnya.

Berbeda dengan sebagian orang tua yang, tanpa disadari, justru merespons cerita anak dengan menyalahkan atau mengkritik, AI memberikan ruang aman untuk anak bercerita. 

Namun, kenyamanan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Anak akan semakin menarik diri dari interaksi manusia dan makin sulit memisahkan realitas dari dunia maya.

Peran Orang Tua dan Sekolah

Ulfa menekankan, pendampingan adalah kunci. Orang tua, menurut dia, perlu membuka ruang komunikasi yang bebas dari rasa takut dihakimi, sambil membantu anak memahami batas antara dunia nyata dan digital. 

Sekolah juga memegang peran penting untuk membangun keterampilan sosial melalui kegiatan tatap muka yang melatih empati, kolaborasi, dan pemecahan masalah.

“Kalau kita enggak memvalidasi perasaannya mereka, kebutuhan itu bisa tergantikan oleh AI. Dan itu berisiko menjerumuskan anak semakin jauh,” pungkas Ulfa.

Fenomena AI ini mungkin tak bisa dibendung, tapi peran manusia sebagai pendamping, pembimbing, dan pemberi kasih sayang tak akan pernah tergantikan oleh algoritma. 

Tantangannya kini adalah memastikan teknologi menjadi alat bantu, bukan pengganti.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved