Putusan Tentang Pemisahan Pemilu Digugat, DPR Tunggu Sikap MK
Dede Yusuf respons gugatan supaya Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan putusan soal pemisahan pemilu, MK diminta bijaksana.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, merespons soal gugatan supaya Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan putusan soal pemisahan pemilu
Dede meminta MK bijak dalam memutuskan gugatan tersebut nantinya.
"Kita tunggu saja apa sikap dari MK," kata Dede kepada wartawan, Selasa (5/8/2025).
Dede menyebut dalam setiap kebijakan memang akan ada pro dan kontra.
Menurutnya, Putusan 135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan pemilu telah menimbulkan polemik.
"Ini seolah-olah melegalisasi DPRD untuk meneruskan jabatan atau harus dibuatkan undang-undang baru terkait dengan DPRD sementara, dan saya pikir setiap warga negara memiliki hak untuk memberikan pandangan ataupun juga sikap-sikapnya," tandas Politisi Partai Demokrat itu.
Baca juga: Arteria Dahlan Usul Seluruh Hakim MK Dilaporkan ke Polisi Buntut Hapus Pemilu Serentak
Sebelumnya, Empat advokat mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal.
Mereka menilai putusan tersebut menciptakan kekosongan kekuasaan legislatif di daerah dan membahayakan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Permohonan ini diregistrasi dengan Nomor 126/PUU-XXIII/2025 dan diajukan oleh empat orang advokat: Bahrul Ilmi Yakup, Iwan Kurniawan, Yuseva, dan Rio Adhitya.
Dalam sidang pendahuluan yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Jumat (1/8/2025), Bahrul menyatakan Putusan 135 memanfaatkan kealpaan pembentuk undang-undang yang sering kali menduplikasi UUD NRI Tahun 1945 menjadi norma undang-undang.
Ia juga menegaskan putusan itu membahayakan dan menciptakan kekacauan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sebab melahirkan kevakuman anggota DPRD selama periode sejak selesainya pelantikan hasil Pemilu Nasional, yaitu dalam kurun waktu dua tahun sampai dua tahun enam bulan.
“Menyatakan pemohon pengujian Undang-Undang, Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 tidak memiliki kedudukan hukum dan permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima,” ucap Bahrul saat membacakan petitum para Pemohon.
“Dan menyatakan putusan perkara nomor 135/PUU-XXI/2024 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” sambungnya.
Baca juga: Jokowi Beri Wejangan Agar PSI Belajar Dari Pengalaman Dua Kali Ikut Pemilu
Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam persidangan menyoroti substansi permohonan para advokat yang secara langsung meminta pembatalan putusan MKsebelumnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.