Senin, 29 September 2025

UU Pemilu

Refly Harun Nilai Aneh MK Berubah Haluan Soal Pemilu Serentak

Refly Harun, menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. 

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Rahmat W Nugraha
UU PEMILU - Pakar hukum tata negara, Refly Harun di Jakarta Pusat, Senin (4/12/2023). Ia menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. 

Padahal, menurut Refly Harun, sepuluh tahun lalu, lembaga yang sama menyatakan pelaksanaan Pemilu serentak adalah konstitusional.

"Agak aneh memang ketika tahun 2019 MK mengatakan yang konstitusional itu serentak lima kotak, sekarang yang konstitusional yang terpisah," kata Refly Harun kepada Tribunnews.com, Minggu (29/6/2025).

Refly Harun berpandangan, perubahan arah putusan MK ini menunjukkan dua hal penting.

Pertama, paradigma baru di tubuh MK.

Baca juga: Sebut Putusan MK Angin Segar untuk Demokrasi, Bawaslu Akui Pemilu Serentak Jadi Beban Luar Biasa

Kedua, melemahnya fungsi DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.

Dia menegaskan, pembentukan norma atau penyusunan sistem Pemilu dan pelaksanaannya merupakan ranah DPR, bukan lembaga yudikatif. 

Namun, MK kini mengambil alih peran tersebut lantaran DPR dinilai tidak menjalankan fungsinya menyerap aspirasi publik secara memadai.

Baca juga: Hamdan Zoelva Sambut Baik Putusan MK: Pemilu Serentak Timbulkan Masalah Besar

"Jadi sekali lagi, MK mengambil peran DPR dalam menyerap aspirasi masyarakat. Secara teori bernegara, ini enggak benar. Harusnya yang mengambil aspirasi masyarakat itu DPR. MK bicara tentang sebuah norma konstitusional atau tidaknya," jelas Refly.

Refly menjelaskan, wacana pemilu terpisah antara nasional dan daerah sebenarnya bukan hal baru. 

Usulan tersebut, menurut dia, berasal dari para pegiat kepemiluan.

Namun, DPR disebut enggan merealisasikannya karena dianggap merugikan kepentingan partai politik.

"Tetapi, DPR tidak kunjung mau membuat Pemilu yang terpisah lokal-nasional. Ini kenapa? Karena akan merugikan mereka. Merugikan partai-partai politik, elit-elit politik, yang kalau misalnya dia pisah dengan pemilihan anggota DPRD, mereka enggak punya kaki," tegas Refly.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkap alasan memutus menghapus keserentakan pelaksanaan pemilihan umum atau Pemilu nasional dengan Pilkada dalam rentang waktu yang sama. 

MK memutus gelaran Pilkada dijeda selama 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun dihitung setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan DPD RI.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan