UU Pemilu
Komisi II DPR: Putusan MK Momentum Desain Ulang Pemilu dan Pilkada
Memisahkan Pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029 momentum merancang ulang sistem Pemilu dan Pilkada agar selaras dengan struktur pemerintahan.
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029 sebagai momentum untuk merancang ulang sistem Pemilu dan Pilkada agar selaras dengan struktur pemerintahan menurut UUD 1945.
“Pertama, kami menghormati putusan MK tersebut. MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut," kata Zulfikar kepada wartawan, Kamis (26/6/2025).
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Gugatan itu diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Zulfikar menegaskan, hal ini menjadi dorongan kuat bagi DPR dan Pemerintah untuk segera menyusun Undang-Undang Pemilu yang baru.
“Kedua, putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaannya perlu penyesuaian,” ujarnya.
Baca juga: Plus Minus Pemilu Tak Lagi Serentak Mulai 2029, Peta Politik Nasional Dinilai Tak Berubah
Politikus Partai Golkar ini menyebut bahwa putusan MK ini menegaskan posisi Pilkada sebagai bagian dari rezim Pemilu, dan terbuka lebar peluang untuk memasukkan aturan Pilkada terkodifikasi ke dalam UU Pemilu sesuai kebijakan dalam RPJPN 2025-2045.
Ketiga, Zulfikar menilai pemisahan jadwal Pemilu nasional dan daerah akan memudahkan pemilih dalam menyalurkan hak pilih, sekaligus meningkatkan efektivitas kerja penyelenggara Pemilu dalam setiap tahapan.
“Keempat, hadirnya putusan MK ini mengokohkan kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi yang tetap, sehingga menepis pikiran menjadikan penyelenggara pemilu lembaga ad hoc," ucapnya.
Dia berharap pemisahan ini dapat memperkuat prinsip negara kesatuan yang menganut sistem desentralisasi, sekaligus menumbuhkan budaya politik baru yang mampu meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah.
“Terakhir, putusan MK ini memperkuat prinsip bahwa kita merupakan negara kesatuan yang didesentralisasikan. Harapannya, bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah," imbuh Zulfikar.
Baca juga: Perludem Tak Masalah Jabatan DPRD 2024 Diperpanjang demi Transisi Pemilu 2029
MK dalam pertimbangannya menilai bahwa pelaksanaan seluruh jenis pemilu secara serentak menimbulkan sejumlah persoalan. Mulai dari beban berat bagi penyelenggara, turunnya kualitas pelaksanaan tahapan, hingga kompleksitas teknis dan logistik.
“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat pada Kamis (26/6/2025).
MK menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban untuk menyelenggarakan seluruh pemilu secara serentak.
Oleh karena itu, MK memberikan tafsir konstitusional baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap.
Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan Pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.