Tekanan Sosial, Perundungan, hingga Media Digital Perparah Krisis Mental Remaja
Data terbaru menunjukkan sekitar 14,3 persen anak usia 10–19 tahun hidup dengan gangguan mental.
Bunuh diri menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak di kalangan usia 15–29 tahun.
Faktor risikonya beragam, mulai dari trauma masa kecil, penyalahgunaan alkohol, hingga stigma terhadap pencarian bantuan.
Media digital juga berperan ganda: bisa menjadi alat penyebar kesadaran sekaligus pemicu risiko.
Karena itu, literasi digital dan pengawasan bijak sangat dibutuhkan.
WHO kini gencar mengembangkan intervensi psikologis skala luas untuk mengatasi gangguan emosional remaja.
Tak hanya itu, panduan layanan kesehatan mental untuk sekolah juga diperkuat agar para pendidik dapat mengenali tanda-tanda awal krisis mental di kalangan siswa.
“Memenuhi kebutuhan remaja dengan kondisi kesehatan mental sangatlah penting,” tegas WHO dalam laporannya.
Pendekatan non-farmakologis, penghormatan terhadap hak anak, serta dukungan lingkungan sosial yang sehat menjadi pilar penting.
Jika dibiarkan, krisis ini akan menjadi bom waktu.
Namun dengan deteksi dini, dukungan keluarga, serta layanan kesehatan yang inklusif, remaja bisa tumbuh lebih tangguh. Karena di pundak merekalah masa depan dunia bergantung.
(Tribunnews.com/ Aisyah Nursyamsi)
Studi: Literasi Kesehatan Indonesia Masih Rendah |
![]() |
---|
Total Pembiayaan Gangguan Kesehatan Jiwa Alami Tren Naik, Nilainya Tembus Rp 6,7 Triliun |
![]() |
---|
Masalah Kesehatan Mental Dijamin BPJS Kesehatan, Beban Tertinggi Diagnosis Skizofrenia Rp 3,5 T |
![]() |
---|
Orang Stres Makin Banyak, Skizofrenia Jadi Penyakit Jiwa Terbanyak Diderita Warga RI |
![]() |
---|
Taiwan Tuduh Mie Instan dari Indonesia Mengandung Etilen Oksida, BPOM Klaim Sudah Ikuti Standar WHO |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.