Melihat Alasan OJK Wajibkan Peserta Asuransi Kesehatan Tanggung 10 Persen Biaya Klaim
Ketentuan penerapan co-payment tidak berlaku untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Dalam SEOJK tersebut, terdapat skema co-payment yang mengatur pembagian risiko pembiayaan layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah.
Melalui skema co-payment atau pembagian risiko, pemegang polis diwajibkan menanggung 10 persen dari total klaim, dengan batas maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap.
Baca juga: OJK Terbitkan Aturan Baru Terkait Produk Asuransi Kesehatan, Menguntungkan Pemegang Polis?
Adapun skema co-payment mulai berlaku pada 1 Januari 2026.
Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, co-payment dari pemegang polis bertujuan untuk mendorong pemanfaatan layanan medis dan layanan obat yang lebih berkualitas.
Kemudian, aturan ini akan mendorong premi asuransi kesehatan yang affordable atau lebih terjangkau karena peningkatan premi dapat dimitigasi dengan lebih baik.

Sehingga, kata Ogi, co-payment tidak menaikkan premi dari pemegang polis asuransi kesehatan, justru dapat menurunkan premi atau setidaknya menahan laju kenaikan premi yang tinggi akibat beberapa faktor misalnya inflasi kesehatan.
"Pada 2024 itu, premi naik hampir 40 persen. Kenapa? Karena klaimnya tertalu tinggi. Adanya co-payment bisa menurunkan premi atau menahan kenaikan yang tinggi," ucap Ogi yang dikutip Jumat (13/6/2025).
Adapun faktor yang sangat mempengaruhi premi asuransi yakni inflasi kesehatan. Tercatat, inflasi kesehatan Indonesia pada 2024 sebesar 10,1 persen dan 2025 di level 13,6 persen.
Ogi pun menjelaskan, skema co-payment sudah banyak diterapkan di negara lainnya untuk premi yang lebih terjangkan hingga peningkatan kualitas layanan medis.
Misalnya, Malaysia mewajikan jumlah co-payment minimum adalah 5 persen dari total biaya yang dapat diklaim per tahun, maksimal biaya yang dikeluarkan RM 500 per tahun.
Singapura, terdapat kewajiban penerapan co-payment minimum 5 persen sejak April 2018, dengan maksimum SGD 3000 per tahun.
Lalu, Korea Selatan menerapkan co-payment 20 persen untuk rawat inap (pasien kanker 5 persen, pasien penyakit langka 10 persen) dengan batas atas berkisar KRW 870 rb – 10,5jt
Kemudian, penerapan co-payment 30-60 persen untuk rawa jalan tergantung fasilitas kesehatannya (Klinik 30 persen, RS Standar 40 persen, Farmasi 30 persen, RS Umum 45-50 persen, RS Higher Level 60 persen).
3 Fakta soal Ratusan Siswa Diduga Keracunan MBG di Garut, Polisi Selidiki |
![]() |
---|
Tugu Insurance Gelar RUPS Luar Biasa, Umumkan Perubahan Susunan Pengurus Perseroan |
![]() |
---|
Rayakan HUT ke-80, PMI Banten Gelar Aksi Kemanusiaan di Kawasan Eks Kesultanan |
![]() |
---|
Kemenkes Pastikan Stok Obat Kusta di Papua Barat Tersedia: Masih Cukup |
![]() |
---|
Charles PDIP Bicara Sistem Kesehatan Nasional di Daerah Terpencil: Akses Tanpa Mutu Adalah Ilusi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.