Wacana THR untuk Pekerja Gig: Pendapat Serikat Pekerja, Ekonom hingga Mantan Menaker
Status mitra pengemudi bervariasi, di mana sebagian menjadikannya pekerjaan utama, sementara lainnya sebagai pekerjaan sampingan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Momen Lebaran Idul Fitri 2025 sudah dekat. Bagi para karyawan, pegawai atau pekerja formal, momen lebaran identik dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang banyak ditunggu untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Belakangan muncul wacana dan tuntutan THR untuk para mitra ride hailing seperti driver ojek online dan kurir antaran barang online.
Mereka adalah pekerja dalam ekonomi gig, yakni individu yang memperoleh penghasilan berdasarkan tugas atau proyek tertentu tanpa hubungan kerja tetap.
Di Indonesia, profesi ini mencakup mitra pengemudi dan kurir, pekerja lepas seperti desainer, penulis, programmer; penyedia jasa (teknisi, tukang, tenaga kecantikan), pekerja kreatif (influencer, content creator), instruktur dan konsultan online, serta pelaku bisnis di ekosistem marketplace.
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan Dorong Driver Ojol Wajib Jadi Peserta
Penelitian terbaru School of Business and Management Bandung Institute of Technology (SBM ITB) tahun 2023 menunjukkan, sektor ekonomi gig berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Nilainya mencapai sekitar Rp 382,62 triliun atau setara dengan 2 persen dari total PDB Indonesia tahun 2022.
Salah satu manfaat signifikan dari ekonomi gig bagi pekerja adalah kebebasan dalam menentukan waktu dan tempat kerja, yang tidak tersedia dalam pekerjaan formal.
Dengan fleksibilitas ini, banyak pekerja gig dapat menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan komitmen lain, seperti pendidikan, pengasuhan anak, atau pekerjaan sampingan lainnya.
Selain memberikan fleksibilitas, ekonomi gig juga berkontribusi dalam pengembangan keterampilan pekerja. Dalam beberapa kasus, keterampilan yang diperoleh di sektor gig bahkan dapat membuka peluang bagi mereka untuk memulai usaha sendiri.
Polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada aplikator terus menjadi sorotan di berbagai media massa di Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan mengenai apakah mitra pengemudi seharusnya diklasifikasikan sebagai pekerja tetap atau masih tetap dalam hubungan kemitraan sebagaimana yang berlaku saat ini.
Terhadap tuntutan THR ini, Pemerintah mulai terlibat dan berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital yang menuai pro dan kontra.
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.
Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan.
Apalagi saat ini, perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas. Jika biaya tambahan seperti THR diwajibkan, tentu akan menambah beban baru dan keberlangsungan jangka panjang perusahaan akan terkena dampaknya.
Dulu Ricuh, Kini Dapat Nasi Kotak: Demo Ojol di DPR Berubah Wajah |
![]() |
---|
Perwakilan Massa Ojol Masuk Ke Gedung DPR, Sebut Ingin Bertemu Dasco dan Anggota Komisi V |
![]() |
---|
Meski Hujan Mengguyur, Massa Pengemudi Ojol Tetap Lakukan Demonstrasi, Cari Pimpinan DPR |
![]() |
---|
TNI AL Sebut Satu Regu Prajurit yang Merapat ke Gerbang DPR Jelang Demo Ojol Sedang Patroli Sektor |
![]() |
---|
Jelang Demo Ojol, Polisi Siagakan Penyekatan Lalu Lintas di Kawasan Patung Kuda Jakpus |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.