Temuan Ombudsman RI Terkait Tata Kelola Sawit Dinilai Harus Jadi Perhatian Semua Pihak
Ada pelaku usaha sawit yang memproses izin setengah jadi tiba-tiba ada kebijakan dari Kementerian Kehutanan.
Lebih jauh, Prof Budi Mulyanto mengusulkan perlu dilakukan penyederhanaan peraturan perundangan Sawit (semacam omnibus law sawit) yang mengatur urusan sawit dari hulu ke hilir.
"Mengingat sawit istimewa bagi bangsa Indonesia, banyak manfaatnya dan banyak urusannya maka satu Badan untuk mengelola urusan sawit A-Z (tentu didasarkan pada peraturan perundangan yang sudah lebih sederhana), sehingga masyarakat mendapat pelayanan satu pintu," papar Prof Budi Mulyanto.
Disamping itu, kata dia, badan ini harus mengelola satu data sawit yang diupdate secara periodik sesuai ruang dan waktu bagi perbaikan dan pengembangan industri sawit (continuous improvement).
"Harapan saya dimulai oleh Pemerintah Presiden Prabowo, industri sawit berkembang lebih mantab dan tertata, sehingga nilai Easy of Doing Business (EODB) Indonesia meningkat, dan investor yakin berinvestasi di sektor sawit."
Usulkan UU Perkelapasawitan
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengungkapkan fakta di lapangan memang sudah ada keterlanjuran terkait permasalahan tumpang tindih lahan sawit.
Meskipun dirinya sejatinya juga tidak sepakat dengan istilah keterlanjuran tersebut.
Pertama, masyarakat petani sawit yang tidak paham regulasi memanfaatkan lahan yang dianggap sebagai tanah negara.
Kedua, ada pelaku usaha sawit yang memproses izin setengah jadi tiba-tiba ada kebijakan dari Kementerian Kehutanan.
Sehingga penanaman tidak bisa dilanjutkan karena ditetapkan sebagai kawasan hutan. Ketiga, pelaku usaha yang benar-benar menabrak aturan. Yakni, mereka langsung menanam sawit di kawasan hutan tanpa ada proses izin.
Menurut dia, penyelesaiannya menurut UU Cipta Kerja ada tiga skema. Bagi petani yang tidak tahu diberikan hak pinjam pakai maksimal 5 hektare untuk mengelola sawitnya sampai meninggal dunia.
Setelah itu, lahan diberikan ke negara untuk dikembalikan fungsinya sebagai Kawasan hutan.
"Nah kemudian bagi yang setengah proses akibat kesalahan kebijakan dan kemudian di situ tak bisa dilanjutkan itu juga harus diberikan sanksi, tapi sanksinya tidak seberat yang nabrak tadi," ungkap Firman.
Dia mengusulkan pelaku usaha tersebut bisa diberikan kesempatan untuk mengelola lahannya mungkin satu sampai tiga siklus. Namun, hal itu harus diatur melalui peraturan menteri kehutanan sebagai dasarnya.
"Kemudian yang betul betul nabrak harus dikenakan sanksi. Sanksi denda kemudian sanksi hukumnya. Kalau perlu dicabut hak kepemilikannya. Dan kita sarankan kalau dicabut, kemudian diserahkan dan dikelola BUMN. Namun itu kan harus diatur oleh peraturan menteri kehutanan. Itu yang sampai sekarang menteri kehutanan belum selesai," jelasnya.
Pabrik Gas Biometan Pertama Berbahan Baku Limbah Sawit Dibangun di Simalungun |
![]() |
---|
Transformasi Perkebunan: BPDP Dorong Hilirisasi Sawit, Kelapa, dan Kakao |
![]() |
---|
Bikin Rugi Petani Lokal, DPR Larang Masyarakat Konsumsi Gula Kristal Rafinasi |
![]() |
---|
Bapanas Ungkap Gula Petani Belum Terserap Sebanyak 21 Ribu Ton |
![]() |
---|
BPDP dan Ditjenbun Kementan Genjot SDM Sawit untuk Tingkatkan Produktivitas Kebun Rakyat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.